Jumat, 22 Juni 2012

Pentas "Ngelawang" Jelang Galungan Hampir Punah



Denpasar (Antara Bali) - Pentas seni komunal (Ngelawang) yang dulu dapat disimak dalam rangkaian Hari Raya Galungan di Bali secara perlahan-lahan hampir punah.

"Pentas seni nomaden yang dikenal dengan 'ngelawang' pada era 1970-an memang pernah mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan hingga menyambut Kuningan selama 10 hari," kata Dosen Program Studi Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kadek Suartaya, Senin.

Menurut dia, dalam beberapa tahun belakangan ini, pertunjukan keliling yang menyuguhkan puspa ragam seni tradisi Bali itu telah digerus perubahan zaman.

"Bahkan sulit mendapatkan 'sekaa-sekaa' (perkumpulan) seni pertunjukan yang tampil penuh keintiman di tengah masyarakat dalam suasana Galungan dan Kuningan. Walaupun ada, dilakukan oleh anak-anak usia sekolah dasar di wilayah lingkungan masing-masing," ujar Kadek Suartaya.

"Ngelawang" memiliki makna melanglang atau mengelilingi lingkungan. Pada awalnya ngelawang merupakan bagian ritus sakral magis. Benda-benda keramat, seperti Barong dan Rangda diusung ke luar pura berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa adat yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat.

"Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu oleh komunitasnya. Penduduk yang dapat memungut bulu-bulu Barong atau Rangda yang tercecer dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah," ujar Suartaya.

Ia menjelaskan, tradisi Ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala (hama penyakit) itu juga bermakna sama pada pentas ngelawang Galungan.

Namun dalam perjalanannya, masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral, namun dibuat tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan.

Dalam tradisi ngelawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni "balih-balihan" seperti Arja, Janger, atau Joged juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif.

"Sebagai seni tontonan, Ngelawang adalah suguhan seni pentas yang serius namun santai. Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk, namun bisa jongkok, berdiri, atau bergelayutan sembari menikmati alam bebas," kata Suartaya.(T007)

Eksotisme tentang sebuah pentas seni komunal (Ngelawang) yang dulu dapat disimak dalam rangkaian hari suci Galungan, hari kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) di Bali secara perlahan-lahan jumlahnya berkurang, bahkan hampir punah.

“Pentas seni nomaden yang dikenal dengan ngelawang pada era 1970-an, memang pernah mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan selama sepuluh hari hingga ritual Kuningan,” kata Dosen Program Studi Seni Kerawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Kadek Suartaya, SS Kar, MSi di Denpasar, Selasa.

Ia mengatakan, dalam beberapa tahun belakangan ini, pertunjukan keliling yang menyuguhkan puspa ragam seni tradisi Bali itu telah digerus perubahan zaman.

“Begitu sulit memergoki sekaa-sekaa seni pertunjukan tampil penuh keintiman di tengah masyarakat, walaupun ada anak dilakukan oleh-anak usia sekolah dasar (SD) di wilayah lingkungannya masing-masing,” ujar Kadek Suartaya.

“Ngelawang” memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya ngelawang adalah sebuah ritus sakral magis yang disangga oleh psiko-relegi yang kuat.

Benda-benda keramat seperti Barong dan Rangda misalnya diusung ke luar pura berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat.

“Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu dan disongsong dengan takzim oleh komunitasnya. Penduduk yang dapat memungut bulu-bulu Barong atau Rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah,” ujar Suartaya.

Ia menjelaskan, tradisi ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala itu juga bermakna sama pada pentas ngelawang Galungan.

Namun dalam perjalanannya, masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral, namun dibuat tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan.

Dalam tradisi ngelawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni “balih-balihan” seperti arja, janger, atau joged  juga dapat disaksikan  masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif dan apresiatif.

Sebagai seni tontonan, ngelawang menurut Suartaya adalah suguhan seni pentas yang serius, namun  santai.

Untuk mengapresiasinya penonton  tidak harus duduk kaku,  namun  bisa jongkok,  berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan  bergesekan sembari menikmati alam bebas.

Hampir tak ada jarak antara pelaku seni  dengan penonton, semua lebur dan menyatu. Kehadiran seni pentas ini tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu. Pertunjukan tari Topeng misalnya bisa terjadi  di  bawah pohon besar  yang rindang,  pementasan Barong bisa digelar di tepi sungai, drama tari arja bisa hadir di jalan  umum , bahkan di tengah keramaian pasar.

“Atmosfer pentas seni tontonan nan komunal kini telah sayup-sayup. Begitu pula ngelawang dalam konteks  sakral-magis agaknya semakin redup. Pada tahun 1970-an, aura magis ngelawang itu masih berbinar. Rumah-rumah penduduk sekonyong-konyong didatangi misalnya oleh Barong Kedingkling. Figur-figur topeng yang bersumber dari cerita pewayangan Ramayana ini disongsong dengan antusias oleh  seisi rumah,” ujarnya.

Diawali dengan sepotong tembang, misalnya tokoh punakawan Malen dan Merdah, lalu disusul  tokoh Subali dan Sugriwa menari semenit dua menit di halaman merajan, tempat suci keluarga. Kendati singkat, umumnya masyarakat senang dan percaya aura ritual-magis yang dipancarkan ngelawang Galungan itu akan memberikan keselamatan dan perlindungan.

Hasrat hidup damai dan terlindung dari segala bencana tersebut itulah kiranya yang menjadi akar ngelawang. Diduga, ngelawang berkiblat dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang.

Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menenteramkan kembali seisi alam.

Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat kasih pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai.

Makna ruwatan dalam mitologi Siwa Tatwa tersebut juga senafas dengan kandungan tolak bala dalam legenda hancurnya keangkaramurkaan Mayadanawa yang kemudian disyukuri atau jadi pijakan awal Galungan, perayaan kemenangan dharma atas adharma, tutur Kadek Suartaya

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar