INTERFERENSI
DAN INTEGRASI BAHASA
Oleh: Puspa Ruriana, Iqbal Nurul A,
Sri Pamungkas
1. Pendahuluan
Bahasa selalu mengalami perkembangan
dan perubahan. Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena adanya perubahan
sosial, ekonomi, dan budaya. Perkembangan bahasa yang cukup pesat terjadi pada
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kontak pada bidang politik, ekonomi,
ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh
bahasa yang lain. Proses saling mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan
bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral
kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah di atas. Saling mempengaruhi
antarbahasa pasti terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan,
mengingat kosakata itu memiliki sifat terbuka. Menurut Weinrich (dalam Chaer
dan Agustina 1995:159) kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa
oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi
transfer atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang
mencakup semua tataran. Sebagai konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan
saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari.
Suwito (1985:39-40) mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan
secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut
dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling
mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya,
interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.
Adanya kedwibahasaan juga akan
menimbulkan adanya interferensi dan integrasi bahasa. Interferensi bahasa yaitu
penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam ujaran dwibahasawan karena
keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa, yang disebabkan karena adanya
kontak bahasa.
Selain kontak bahasa, faktor
penyebab timbulnya interferensi menurut Weinrich (dalam Sukardi 1999:4) adalah
tidak cukupnya kosakata suatu bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan.
Selain itu, juga menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, kebutuhan akan
sinonim, dan prestise bahasa sumber. Kedwibahasaan peserta tutur dan tipisnya
kesetiaan terhadap bahasa penerima juga merupakan faktor penyebab terjadinya
interferensi.
2. Interferensi dan Integrasi
2.1 Interferensi
Alwasilah (1985:131) mengetengahkan
pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa
interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan
membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup
pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu, Jendra
(1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan,
bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata
(morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna
(semantik) (Suwito,1985:55).
Interferensi, menurut Nababan
(1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya
kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek
kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa
interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau
lebih.
Untuk memantapkan pemahaman mengenai
pengertian interferensi, berikut ini akan diketengahkan pokok-pokok pikiran
para ahli dibidang sisiolinguistik yang telah mendefinisikan peristiwa ini.
Menurut pendapat Chaer (1998:159)
interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya
perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa
tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang
bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan
suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa
dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai
peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair
(1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan
ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Abdulhayi (1985:8) mengacu pada pendapat
Valdman (1966) merumuskan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat
adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa
yang dipelajari (bahasa kedua). Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau
pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa sasaran.
Pendapat lain mengenai interferensi
dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi
berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk, bahwa interferensi merupakan kekeliruan
yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu
bahasa terhadap bahasa lain mencakupi pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan
kosakata. Suhendra Yusuf (1994:67) menyatakan bahwa faktor utama yang dapat
menyebabkan interferensi antara lain perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa
sasaran. Perbedaan itu tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga
keragaman kosakata.
Pengertian lain dikemukakan oleh
Jendra (1995:187) menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan
sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena
dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam
sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau
penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima.
Interferensi merupakan gejala
perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan bahasa.
Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa Inggris dan Arab
pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari interferensi, terutama
untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa donor.
Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain sulit
untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak lepas dari perilaku
penutur bahasa penerima.
Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga
ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu
adalah (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap
bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan
(3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika
wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna
dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap
keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar belakang
munculnya interferensi.
Dari segi kemurnian bahasa,
interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan
penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina (1998: 165)
Jendra (1991:105) menyatakan bahwa
dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa
donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa
lain; bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau
yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap
(importasi) atau unsur serapan.
Dalam komunikasi bahasa yang menjadi
sumber serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima
pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga dengan bahasa penerima dapat
berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian interferensi dapat terjadi
secara timbal balik.
Bertolak dari pendapat para ahli
mengenai pengertian interferensi di atas, dapat disimpulkan bahwa.
- kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
- interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain
- unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif, dan
- interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
Interferensi berbeda dengan
integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa
tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut, serta tidak
dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan (Chaer dan Agustina 1995:168).
Senada dengan itu, Jendra (1991:115) menyatakan bahwa dalam proses integrasi
unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa
penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Dalam hal ini, jika
suatu unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa
penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur
tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut
belum terintegrasi.
Suwito (1983:54), seperti halnya
Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala
tutur (speech, parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya
dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak
perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya
dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan
bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling
minim.
Interferensi merupakan gejala
perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa (Hockett dalam
Suwito, 1983:54). Dari pendapat hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala
kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan
interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang
tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang
mengambil peranan, yaitu:
- bahasa sumber atau bahasa donor
- bahasa penyerap atau resipien
- unsur serapan atau importasi
Interferensi dalam bidang fonologi
Contoh : jika penutur bahasa Jawa
mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan
/j/, misalnya pada kata Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang
Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/, /nDeli/,/nJambi/, dan /nGgombong/.
Interferensi dalam bidang morfologi
Interferensi morfologi dipandang
oleh para ahli bahasa sebagai interferensi yang paling banyak
terjadi.Interferensi ini terjadi dalam pembentuka kata dengan menyerap
afiks-afiks bahasa lain. Misalnya kalau sering kali kita mendengar ada kata
kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan.
Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena
bentuk-bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu terpukul,
tertabrak, terlalu besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan, berpisah
(bubar), dan berdua.Berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses
pembentukan kata yang disebut interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk
dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-sfiks dari bahasa daerah atau
bahasa asing.
Interferensi dalam bentuk kalimat
Interferensi dalam bidang ini jarang
terjadi. Hal ini memang perlu dihindari karena pola struktur merupakan ciri
utama kemandirian sesuatu bahasa. Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar
sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah dimakan oleh saya, atau Hal itu
saya telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk
interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih
gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah
saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin.Terjadinya
penyimpangan tersebut disebabkan karena ada padanan konteks dari bahasa donor,
misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya
Interferensi Semantik
Berdasarkan bahasa resipien
(penyerap) interferensi semantis dapat dibedakan menjadi,
- Jika interferensi terjadi karena bahasa resipien menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain, yang disebut sebagai perluasan (ekspansif). Contohnya kata demokrasi, politik, revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-Latin.
- Yang perlu mendapat perhatian, interferensi harus dibedakan dengan alih kode dan campur kode. Alih kode menurut Chaer dan Agustina (1995:158) adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu, dan dilakukan dengan sengaja. Sementara itu, campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Interferensi merupakan topik dalam sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang dwibahasawan, yaitu penutur yang mengenal lebih dari satu bahasa. Penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain (Chaer,1995:158). Biasanya interferensi terjadi dalam penggunaan bahasa kedua, dan yang menginterferensi adalah bahasa pertama atau bahasa ibu
2.1.1 Jenis Interferensi
Interferensi merupakan gejala umum
dalam sisiolinguistik yang terjadi sebagai akibat dari kontak bahasa, yaitu
penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual. Hal
ini merupakan suatu masalah yang menarik perhatian para ahli bahasa. Mereka
memberikan pengamatan dari sudut pandang yang berbeda beda. Dari pengamatan
para ahli tersebut timbul bermacam-macam interferensi.
Secara umum, Ardiana (1940:14)
membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu
(1) Interferensi
kultural dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh dwibahasawan. Dalam
tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing sebagai akibat usaha
penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru.
(2) Interferensi
semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata yang mempunyai
variabel dalam suatu bahasa.
(3) Interferensi
leksikal, harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi
telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima
sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa
asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat mengganggu.
(4) Interferensi
fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.
(5) Interferensi
gramatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan sintaksis.
Interferensi menurut Jendra
(1991:106-114) dapat dilihat dari berbagai sudut sehingga akan menimbulkan
berbagai macam interferensi antara lain:
(1) Interferensi
ditinjau dari asal unsur serapan
Kontak bahasa bisa
terjadi antara bahasa yang masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang
tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan
penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya interferensi
bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi antarbahasa yang
tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external interference)
misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
(2) Interferensi
ditinjau dari arah unsur serapan
Komponen interferensi terdiri atas
tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap
bahasa akan sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa
penerima. Interferensi yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan
interferensi produktif. Di samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan
sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak.
Interferensi yang seperti ini disebut interferensi reseptif.
(3) Interferensi
ditinjau dari segi pelaku
Interferensi ditinjau dari segi
pelakunya bersifat perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam
kehidupan bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam
bahasa penerima. Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa perorangan
disebut interferensi perlakuan atau performance interference.
Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa asing disebut
interferensi perkembangan atau interferensi belajar.
(4) Interferensi
ditinjau dari segi bidang.
Pengaruh interferensi terhadap
bahasa penarima bisa merasuk ke dalam secara intensif dan bisa pula hanya di
permukaan yang tidak menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh. Bila
interferensi itu sampai menimbulkan perubahan dalan sistem bahasa penerima
disebut interferensi sistemik. Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek
kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata
(morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula
menyusup pada bidang tata makna (semantik).
Dennes dkk. (1994:17) yang mengacu
pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat, yang
masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
(1) Peminjaman
unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada
aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antar bahasa yang unsur-unsurnya
dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa
peminjam.
(2) Penggantian
unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain.
Dalam penggantian itu ada aspek dari suatu bahasa disalin ke dalam bahasa lain
yang disebut substitusi.
(3) Penerapan
hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan
tuturan bahasa B., atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak
ada modelnya dalam bahasa A.
(4) Perubahan
fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B tertentu dengan
morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan fungsi morfem bahasa B
berdasarkan satu model tata bahasa A
Menurut Chair interferensi terdiri
atas dua macam, yaitu (1) interferensi reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa
B dengan diresapi unsur-unsur bahasa A, dan (2) interferensi produktif, yakni
wujudnya berupa penggunaan bahasa A tetapi dengan unsur bahasa B.
Jendra (1991:108) membedakan
interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, antara lain
- interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi)
- interferensi pada tata bentukan kata (morfologi)
- interferensi pada tata kalimat (sintaksis)
- interferensi pada kosakata (leksikon)
- interferensi pada bidang tata makna (semantik)
Menurut Jendra (1991:113)
interferensi pada bidang semantik masih dapat dibedakan lagi menjadi tiga
bagian, yakni
(1) Interferensi
semantik perluasan (semantic expansive interference). Istilah ini
dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur bahasa
sumber.
(2) Interferensi
semantik penambahan (semantic aditif interference). Interferensi ini
terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk lama, tetapi
bentuk baru bergeser dari makna semula.
(3) Interferensi
semantik penggantian (replasive semantic interference). Interferensi ini
terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti konsep lama.
Yusuf (1994:71) membagi peristiwa
interferensi menjadi empat jenis, yaitu
(1) Interferensi
Bunyi (phonic interference)
Interferensi ini terjadi karena
pemakaian bunyi satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dalam tuturan
dwibahasawan.
(2) Interferensi
tata bahasa (grammatical interference)
Interferensi ini terjadi apabila
dwibahasawan mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama kemudian
menggunakannya dalam bahasa keduanya.
(3) Interferensi
kosakata (lexical interference)
Interferensi ini bisa terjadi
dalam berbagai bentuk, misalnya terjadi pada kata dasar, tingkat kelompok kata
maupun frasa.
(4) Interferensi
tata makna (semantic interference)
Interferensi ini terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu (a) interferensi perluasan makna, (b) interferensi
penambahan makna, dan (c) interferensi penggantian makna.
Huda (1981: 17) yang mengacu pada
pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat macam, yaitu
(1) mentransfer
unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,
(2) adanya
perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya pemindahan,
(3) penerapan
unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama,
(4) kurang
diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada equivalensi dalam
bahasa pertama.
2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya
Interferensi
Selain kontak bahasa, menurut
Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
interferensi, antara lain:
(1) Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur
merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari
bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan
terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada
akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2) Tipisnya kesetiaan pemakai
bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan
terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal
itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan
pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasai penutur secara tidak
terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa
penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
3)
Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa
pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang
terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang
dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan
baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena
mereka belum mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu
mereka menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara
sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk
mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya
kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa
sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena
kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai
bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih
cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk
memperkaya perbendaharaan kata bahasa penerima.
4) Menghilangnya kata-kata yang
jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang
jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti
kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa
tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan
kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan
terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari
bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh
menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti
interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu
unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena
unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.
5) Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa
mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata
untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa
mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa
dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian
kata secara berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup
penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan
atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada
bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat
mendorong timbulnya interferensi.
6) Prestise bahasa
sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat
mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa
dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut.
Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa
untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu
biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang
dipergunakan
7). Terbawanya kebiasaan dalam
bahasa ibu
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa
ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena
kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal
ini dapat terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua,
baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua,
pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah
kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua
yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan
dikuasainya.
2.2 Integrasi
Integrasi adalah penggunaan unsur
bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa
tanpa disadari oleh pemakainya (Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses
integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.
Oleh sebagian sosiolinguis, masalah
integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan
Agustina (1995:168) mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa
integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu
dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi
sebagai unsur pinjaman atau pungutan.
Mackey dalam Mustakim (1994:13)
mengungkapkan bahwa masalah interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu
dapat diukur. Menurutnya, interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan
adanya integrasi, yang juga bersifat nisbi. Dalam hal ini, kenisbian integrasi
itu dapat diketahui dari suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang
menganggap bahwa bentuk leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah
orang yang lain menganggap belum.
Senada dengan itu, Weinrich
(1970:11) mengemukakan bahwa jika suatu unsur interferensi terjadi secara
berulang-ulang dalam tuturan seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin lama
unsur itu semakin diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka, maka
terjadilah integrasi. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa interferensi
masih dalam proses, sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui sebagai bagian
dari bahasa penerima.
Berkaitan dengan hal tersebut,
ukuran yang digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu unsur serapan adalah
kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau interferensi sudah
dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah
terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus
bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.
Dalam proses integrasi unsur serapan
itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga
tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak
selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses
penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan
bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang
berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya.
Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi
kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan
faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu
penyesuaian unsur integrasi tergantung pada tiga faktor antara lain (1)
perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya, (2)
unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya
sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.
3. Penutup
Meskipun berbeda, antara
interferensi dan integrasi sebenarnya memiliki sisi yang sama, yaitu bahwa
keduanya merupakan gejala bahasa yang terjadi sebagai akibat adanya kontak
bahasa. Integrasi dan interferensi memiliki persamaan -persamaan antara lain
bahwa baik gejala interferensi maupun integrasi bisa terjadi pada keempat
tataran kebahasaan yaitu fonologi, gramatika, kosakata dan semantik.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A Chaedar. 1985. Beberapa
Madhab dan dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa.
Ardiana, Leo Idra. 1990. Analisis
kesalahan Berbahasa. FPBS IKIP Surabaya.
Bawa, I Wayan. 1981. “Pemakaian
Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar”. Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina.
1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Huda, Nuril dkk. 1981. Interferensi
Bahasa Madura Terhadap Bahasa Indonesia Tulis Murid Sekolah Dasar Jawa Timur.
Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hayi, Abdul dkk. 1985. Interferensi
Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa. Jakarta. Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Jendra. I Wayan. 1991. Dasar-Dasar
Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Kridalaksana, Harimurti.1998. Introduction
to Word Formation and Word Classes. Jakarta. Universitas Indonesia.
Nababan. P.W.J. 1984. Sosiolingustik.
Jakarta: Gramedia.
Suwito. 1985. Pengantar Awal
Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henary Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar