KATA PENGANTAR
“Om
Swastyastu”
Puja dan puji syukur penulis
panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat rahmatnyalah
penulis dapat menyelesaikan paper ini yang berjudul “Interferensi Bahasa
Indonesia Terhadap Bahasa Daerah Dalam Tinjauan Sosiolinguistik” selesai tepat
pada waktunya.
Tentu saja dalam penyelesaian paper
ini selaku penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu sehingga paper ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari paper ini masih
jauh dari sempurna, maka dari itu penulis mohon saran dan kritik dari pembaca
demi menyempurnakan paper ini dikemudian hari. Atas kritik dan sarannya penulis
ucapkan terima kasih.
“Om
Shantih, Shantih, shantih Om”
Gianyar,
25 Desember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar
Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah.............................................................................. 2
C. Tujuan
Penulisan................................................................................ 3
D. Manfaat
Penulisan............................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Interferensi....................................................................... 4
B.
Jenis Interferensi............................................................................... 11
C.
Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi.......................................... 16
BAB III PENUTUP............................................................................................. 20
A.
Simpulan........................................................................................... 20
B.
Saran................................................................................................. 21
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bahasa
selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan itu
terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Perkembangan
bahasa yang cukup pesat terjadi pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kontak pada bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat
menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh bahasa yang lain. Proses saling
mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak dapat
dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan tidak dapat lepas dari
masalah di atas. Saling mempengaruhi antarbahasa pasti terjadi, misalnya
kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu memiliki sifat
terbuka. Menurut Weinrich (dalam Chaer dan Agustina 1995:159) kontak bahasa
merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara
bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang mencakup semua tataran. Sebagai
konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur
bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Suwito (1985:39-40) mengatakan bahwa
apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang
sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak. Dalam
setiap kontak bahasa terjadi proses saling mempengaruhi antara bahasa satu
dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya, interferensi akan muncul, baik
secara lisan maupun tertulis.
Adanya
kedwibahasaan juga akan menimbulkan adanya interferensi dan integrasi bahasa.
Interferensi bahasa yaitu penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam
ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa, yang
disebabkan karena adanya kontak bahasa.
Selain
kontak bahasa, faktor penyebab timbulnya interferensi menurut Weinrich (dalam
Sukardi 1999:4) adalah tidak cukupnya kosakata suatu bahasa dalam menghadapi
kemajuan dan pembaharuan. Selain itu, juga menghilangnya kata-kata yang jarang
digunakan, kebutuhan akan sinonim, dan prestise bahasa sumber. Kedwibahasaan
peserta tutur dan tipisnya kesetiaan terhadap bahasa penerima juga merupakan
faktor penyebab terjadinya interferensi.
Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat
judul tentang interferensi Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Daerah dalam
tinjauan sosiolinguistik.
B.
Rumusan
Masalah
Masalah yang berkaitan dengan interferensi
Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Daerah dalam tinjauan sosiolinguistik seperti:
1. Apa
pengertian interferensi?
2. Apasaja
jenis interferensi?
3. Apasaja
faktor penyebab terjadinya interferensi?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan ini selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah yang penulis ambil, juga untuk mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan interferensi Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Daerah
dalam tinjauan sosiolinguistik seperti:
1. Untuk
mengetahui pengertian interferensi.
2. Untuk
mengetahui jenis interferensi.
3. Untuk
mengetahui faktor penyebab terjadinya interferensi.
D.
Manfaat
Penulisan
Adapun
manfaat yang ingin didapat dari penulisan paper ini yaitu agar penulis mengetahui
interferensi Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Daerah dalam tinjauan
sosiolinguistik. Selain bermanfaat bagi penulis, paper ini juga diharapkan
bermanfaat bagi banyak orang, terutama orang yang ingin meneliti lebih lanjut
tentang interferensi Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Daerah dalam tinjauan
sosiolinguistik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Interferensi
Alwasilah
(1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman
dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya
kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain
mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu,
Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek
kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan
kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna
(semantik) (Suwito,1985:55).
Interferensi,
menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat
terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa
atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168)
mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah
satu bahasa atau lebih.
Untuk
memantapkan pemahaman mengenai pengertian interferensi, berikut ini akan
diketengahkan pokok-pokok pikiran para ahli dibidang sisiolinguistik yang telah
mendefinisikan peristiwa ini.
Menurut
pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich
untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh
penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam
menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan
klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap
sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam
Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya
kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek
kedua.
Abdulhayi
(1985:8) mengacu pada pendapat Valdman (1966) merumuskan bahwa interferensi
merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa
pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua). Sebagai
konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu
ke dalam bahasa sasaran.
Pendapat
lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131) mengetengahkan
pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk, bahwa
interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan
membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakupi
pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosakata. Suhendra Yusuf (1994:67)
menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi antara lain
perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya
dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.
Pengertian
lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187) menyatakan bahwa interferensi
sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain.
Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem)
bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan
terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa
penerima.
Interferensi
merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam
perkembangan bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa
Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari
interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam
lingkungan bahasa donor. Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada
bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga
tidak lepas dari perilaku penutur bahasa penerima.
Menurut
Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri
pokok sikap bahasa itu adalah (1) language loyality, yaitu sikap
loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap
kebanggaan terhadap bahasa, dan (3) awareness of the norm, yaitu sikap
sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap
bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu
bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat
dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi.
Dari
segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi
dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari
(Chaer dan Agustina (1998: 165)
Jendra
(1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu
bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau
sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu
bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur
bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan.
Dalam
komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih
peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga
dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian
interferensi dapat terjadi secara timbal balik.
Bertolak
dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat
disimpulkan bahwa.
- kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
- interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain
- unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif, dan
- interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
Interferensi
berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang
digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa
tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan (Chaer dan
Agustina 1995:168). Senada dengan itu, Jendra (1991:115) menyatakan bahwa dalam
proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah
bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Dalam hal
ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus
bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur
tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut
belum terintegrasi.
Suwito (1983:54), seperti halnya
Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala
tutur (speech, parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya
dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak
perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya
dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan
bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling
minim.
Interferensi merupakan gejala
perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa (Hockett dalam
Suwito, 1983:54). Dari pendapat hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala
kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan
interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang
tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang
mengambil peranan, yaitu:
1.
bahasa
sumber atau bahasa donor
2.
bahasa
penyerap atau resipien
3.
unsur
serapan atau importasi
1. Interferensi dalam bidang fonologi
Contoh
: jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang
berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata Bandung, Deli,
Gombong, dan Jambi. Seringkali orang Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/,
/nDeli/,/nJambi/, dan /nGgombong/.
2. Interferensi dalam bidang morfologi
Interferensi
morfologi dipandang oleh para ahli bahasa sebagai interferensi yang paling
banyak terjadi.Interferensi ini terjadi dalam pembentuka kata dengan menyerap
afiks-afiks bahasa lain. Misalnya kalau sering kali kita mendengar ada kata
kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan.
Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk-bentuk
tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu
besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan, berpisah (bubar), dan
berdua.Berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang
disebut interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata
bahasa Indonesia dengan afiks-sfiks dari bahasa daerah atau bahasa asing.
3. Interferensi dalam bentuk kalimat
Interferensi
dalam bidang ini jarang terjadi. Hal ini memang perlu dihindari karena pola struktur
merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa. Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali
yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah dimakan oleh saya,
atau Hal itu saya telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan
bentuk interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap
lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu
telah saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin.Terjadinya
penyimpangan tersebut disebabkan karena ada padanan konteks dari bahasa donor,
misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya
4. Interferensi Semantik
Berdasarkan
bahasa resipien (penyerap) interferensi semantis dapat dibedakan menjadi,
a. Jika interferensi terjadi karena
bahasa resipien menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain, yang
disebut sebagai perluasan (ekspansif). Contohnya kata demokrasi, politik,
revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-Latin.
b. Yang perlu mendapat perhatian,
interferensi harus dibedakan dengan alih kode dan campur kode. Alih kode
menurut Chaer dan Agustina (1995:158) adalah peristiwa penggantian bahasa atau
ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu, dan
dilakukan dengan sengaja. Sementara itu, campur kode adalah pemakaian dua
bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke
dalam bahasa yang lain secara konsisten. Interferensi merupakan topik dalam
sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat pemakaian dua bahasa atau lebih secara
bergantian oleh seorang dwibahasawan, yaitu penutur yang mengenal lebih dari
satu bahasa. Penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan
penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain
(Chaer,1995:158). Biasanya interferensi terjadi dalam penggunaan bahasa kedua,
dan yang menginterferensi adalah bahasa pertama atau bahasa ibu
B. Jenis Interferensi
Interferensi
merupakan gejala umum dalam sisiolinguistik yang terjadi sebagai akibat dari
kontak bahasa, yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur
yang multilingual. Hal ini merupakan suatu masalah yang menarik perhatian para
ahli bahasa. Mereka memberikan pengamatan dari sudut pandang yang berbeda beda.
Dari pengamatan para ahli tersebut timbul bermacam-macam interferensi.
Secara
umum, Ardiana (1940:14) membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu:
1.
Interferensi
kultural dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh dwibahasawan. Dalam
tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing sebagai akibat usaha
penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru.
2.
Interferensi
semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata yang mempunyai
variabel dalam suatu bahasa.
3.
Interferensi
leksikal, harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi
telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima
sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa
asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat mengganggu.
4.
Interferensi
fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.
5.
Interferensi
gramatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan sintaksis.
Interferensi
menurut Jendra (1991:106-114) dapat dilihat dari berbagai sudut sehingga akan
menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:
1. Interferensi
ditinjau dari asal unsur serapan
Kontak bahasa bisa terjadi antara bahasa yang
masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi
antarbahasa sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal
interference) misalnya interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa.
Sedangkan interferensi antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan
bukan sekeluarga (external interference) misalnya bahasa interferensi
bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
2. Interferensi
ditinjau dari arah unsur serapan
Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa
sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin
untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. Interferensi yang
timbal balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping
itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap
bahasa lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini
disebut interferensi reseptif.
3. Interferensi
ditinjau dari segi pelaku
Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat
perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan
bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima.
Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut
interferensi perlakuan atau performance interference. Interferensi
perlakuan pada awal orang belajar bahasa asing disebut interferensi
perkembangan atau interferensi belajar.
4. Interferensi
ditinjau dari segi bidang
Pengaruh interferensi terhadap bahasa penarima bisa merasuk
ke dalam secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak
menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh. Bila interferensi itu sampai menimbulkan
perubahan dalan sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik.
Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada
sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat
(sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna
(semantik).
Dennes
dkk. (1994:17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi
interferensi atas empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
1.
Peminjaman
unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada
aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antar bahasa yang unsur-unsurnya
dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa
peminjam.
2.
Penggantian
unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain.
Dalam penggantian itu ada aspek dari suatu bahasa disalin ke dalam bahasa lain
yang disebut substitusi.
3.
Penerapan
hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan
tuturan bahasa B., atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang
tidak ada modelnya dalam bahasa A.
4.
Perubahan
fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B tertentu dengan
morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan fungsi morfem bahasa B
berdasarkan satu model tata bahasa A
Menurut
Chair interferensi terdiri atas dua macam, yaitu (1) interferensi reseptif,
yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi unsur-unsur bahasa A, dan (2)
interferensi produktif, yakni wujudnya berupa penggunaan bahasa A tetapi dengan
unsur bahasa B.
Jendra
(1991:108) membedakan interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, antara lain
1. interferensi pada bidang sistem tata
bunyi (fonologi)
2. interferensi pada tata bentukan kata
(morfologi)
3. interferensi pada tata kalimat
(sintaksis)
4. interferensi pada kosakata
(leksikon)
5. interferensi pada bidang tata makna
(semantik)
Menurut
Jendra (1991:113) interferensi pada bidang semantik masih dapat dibedakan lagi
menjadi tiga bagian, yakni:
1.
Interferensi
semantik perluasan (semantic expansive interference). Istilah ini
dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur bahasa
sumber.
2.
Interferensi
semantik penambahan (semantic aditif interference). Interferensi ini
terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk lama, tetapi
bentuk baru bergeser dari makna semula.
3.
Interferensi
semantik penggantian (replasive semantic interference). Interferensi ini
terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti konsep lama.
Yusuf
(1994:71) membagi peristiwa interferensi menjadi empat jenis, yaitu:
1.
Interferensi
Bunyi (phonic interference)
Interferensi ini terjadi karena
pemakaian bunyi satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dalam tuturan
dwibahasawan.
2.
Interferensi
tata bahasa (grammatical interference)
Interferensi ini terjadi apabila
dwibahasawan mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama kemudian
menggunakannya dalam bahasa keduanya.
3.
Interferensi
kosakata (lexical interference)
Interferensi ini bisa terjadi
dalam berbagai bentuk, misalnya terjadi pada kata dasar, tingkat kelompok kata
maupun frasa.
4.
Interferensi
tata makna (semantic interference)
Interferensi ini terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu (a) interferensi perluasan makna, (b) interferensi
penambahan makna, dan (c) interferensi penggantian makna.
Huda
(1981: 17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi
atas empat macam, yaitu
1.
mentransfer
unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,
2.
adanya
perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya pemindahan,
3.
penerapan
unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama,
4.
kurang
diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada equivalensi dalam
bahasa pertama.
C. Faktor Penyebab Terjadinya
Interferensi
Selain
kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
1. Kedwibahasaan
peserta tutur
Kedwibahasaan
peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh
lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu
disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang
pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2. Tipisnya
kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya
kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan
sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima
yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasai
penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk
interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik
secara lisan maupun tertulis.
3. Tidak
cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan
kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi
kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi
kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul
dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru
yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk
mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa
sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau
meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut.
Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk
mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan
terjadinya interferensi.
Interferensi
yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja
oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini
cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat
diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa penerima.
4. Menghilangnya
kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata
dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal
ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian
menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu
pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain
pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau
peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi
yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut
akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata
bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat
diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.
5. Kebutuhan
akan sinonim
Sinonim
dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai
variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara
berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang
bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan
untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
Karena
adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi
dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk
memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata
yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.
6. Prestise
bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise
bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa
ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap
berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan
keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang
timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber
pada bahasa penerima yang dipergunakan.
7. Terbawanya
kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya
kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya
terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap
bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada dwibahasawan yang sedang
belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dalam
penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena
kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis
dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang
sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan yang
telah dilakukan dalam bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa
hal yaitu :
1.
Bertolak
dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat
disimpulkan bahwa kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam
tuturan dwibahasawan, interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu
bahasa ke dalam bahasa lain, unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur
bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif, dan interferensi merupakan
gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap sempit
yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
2.
Interferensi
merupakan gejala umum dalam sisiolinguistik yang terjadi sebagai akibat dari
kontak bahasa, yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur
yang multilingual. Secara umum, Ardiana (1940:14) membagi interferensi menjadi
lima macam, yaitu Interferensi cultural, Interferensi semantic, Interferensi
leksikal, Interferensi fonologis dan Interferensi gramatikal.
3.
Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi selain kontak bahasa, menurut
Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
interferensi, antara lain kedwibahasaan peserta tutur, tipisnya kesetiaan
pemakai bahasa penerima, tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, menghilangnya
kata-kata yang jarang digunakan, kebutuhan akan sinonim, prestise bahasa sumber
dan gaya bahasa dan terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu.
B. Saran
Saran yang dapat berikan didalam paper
ini adalah penulis berharap guru atau calon guru harus memahami tentang interferensi
Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Daerah dalam tinjauan sosiolinguistik.
DAFTAR PUSTAKA
http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-kemerdekaan/interferensi-dan-integrasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar