Rabu, 30 Mei 2012

cerita bahasa indonesia novel KEJUTAN KEDUA


KEJUTAN KEDUA
MENJELANG tengah malam, barulah David mene­lepon.
"Hai, Sazi. Apa kabar? Aku kangen kamu..." Belum apa-apa, si kunyuk bule itu sudah melontarkan kalimat romantisnya.
"Aku juga...," Sazi langsung menjawab. Kekecewaan­nya karena ulah Dipa terlupakan. sudah. Benar kata Mama, lebih baik menerima cowok yang mau berkor­ban demi kite.
Mereka ngobrol banyak. Ternyata David suka banger baca novel dan. komik. Dan ternyata dia maniak Harry Potter. Bahkan David sampai tahu hal yang mende­tail!
Cowok itu berjanji akan memberikan kaus Harry Potter asli yang kebetulan ia beli saat liburan ke Inggris. Nah, ditawari kaus asli Harry Potter, siapa sih yang nggak ngiler? Katanya sih kaus itu bakalan David kirim ke Indonesia, atau dititipkan kalau pas mama Sazi ke Australia atau sebaliknya saat Pak Fred ke Indonesia. Cihui dong!
Obrolan berlanjut terus, nggak terasa sudah sejam mereka ngobrol. Sazi tabu diri, biaya sambungan inter-national mahal banget. David meminta hubungan mereka nggak putus sampai di situ.
"Sazi, aku mau, kita keep in touch terus ya. Bisa lewat SMS, e-mail, atau YM"
"Oke, David. Kalo aku kangen sama kamu, sekali-sekali aku juga nggak keberatan nelepon kamu:'
"Hahaha...! Nanti uang jajan kamu habis dong`buat bayar bill telepon..."
"Ah, nggak masalah. Kan ada Mama..."
"Hahaha...
Malam itu terasa jadi milik mereka berdua.
Memang benar kata pepatah. Kalau kita sedang patah hati, obatnya cuma satu: jatuh cinta lagi. Dan itulah obat yang paling mujarab buat Sazi.
Hari ini hari Minggu. Sazi malas-malasan bangun pagi. Tapi dirasakannya hangatnya sinar mentari pagi menerpa kelopak matanya. Sewaktu Sazi membuka mata, ternyata benar, gorden jendelanya sudah tersibak. Sazi segera terduduk di tempat tidur, dan kaget sewaktu dilihatnya mamanya sedang duduk di pinggir tempat tidurnya.
"Saz, Mama perlu ngomong sama kamu. Penting banget.
Sazi jadi kaget. Dia mengucek-ucek mata. Nggak salah denger nih? Tumben pagi-pagi Mama ngajak ngo­mong serius.
Sazi bertanya-tanya dalam hati, apakah Mama akan pergi ke luar negeri? Atau ikut mini dagang lagi? Atau... hei, jangan-jangan Mama akan ngasih tahu bah­wa gosip yang selama ini diembuskan oleh wartawan benar, lalu Mama akan minta pendapat Sazi kapan se­baiknya menikah dengan Oom Sam. Tapi kemarin Mama sudah jelasin kenapa Mama nggak pernah mau nikah dengan Oom Sam. Jadi ... ?
'A-ada apa, Ma? Kok tumben, pagi-pagi banger udah ngajak ngomong serius:'
"Begini, Saz, ini ada hubungannya dengan masa depan kita kelak ' "
"Hmm... berarti, ini juga ada hubungannya dengan Oom Sam ya, Ma?"
"Sazi! Mama kan udah bilang, Oom Sam cuma masa lalu buat Mama'
"Jadi, kalo bukan tentang Oom Sam, tentang siapa dong, Ma?" Sazi penasaran.
"Begini, Saz. Kemarin Mama dihubungi oleh orang penting di Departemen Luar Negeri. Nah, Mama, diminta untuk jadi atase perdagangan di Australia"
"wah..., Mama—!" Mata Sazi terbelalak, lalu dipeluknya mamanya tercinta. "Mama langsung bilang mau, kan?"
Mama melepas pelukan Sazi dan menggeleng. "Mama perlu tanya kamu dulu, karena besok pagi Mama harus kasih jawaban apakah Mama terima tawaran itu atau tidak"
'Aduh, Ma... aku sih setuju banget. Aku nggak keberatan, Ma," ujar Sazi berapi-api.
"Kamu tabu, apa konsekuensinya?"
Sazi menggeleng.
"Konsekuensinya, Mama harus tinggal di Australia dalam jangka waktu lama. Itu berarti kamu pisah dengan Mama, atau ikut dengan Mama"
"Oh, kalo itu sih beres, Ma. Aku pasti pilih ikut Mama:'
"Mau?"
"Mau banget. Kalo perlu, besok aku langsung pindah ke Australia juga nggak apa-apa," kata Sazi mantap. Mama langsung memeluk Sazi. "Dari dulu kamu tuh
selalu pengertian banget sama Mama. Terima kasih-ya, Nak..."
Lalu berceritalah mama Sazi bahwa posisi atase per­dagangan di Australia sudah dua bulan ini kosong. Diam-diam mama Sazi dicalonkan dan turut dinilai untuk mengisi posisi itu. Sampai akhirnya, Mama ditelepon dan ditawari posisi itu.
"Kalo kamu setuju, berarti dalam minggu ini Mama harus segera ke Australia untuk mengurus beberapa hal;'terang Mama.
"Aku boleh ikut?" tanya Sazi antusias.
"Kan sekolah?"
"Tapi kan kita bisa sekalian melihat-lihat calon seko­lah aku di sana, Ma."
"Lho, kamu serius nih, mau ikut Mama menetap di Australia?" mama Sazi heran.
"Kalo boleh, sekalian aja, Ma..."
Sekali lagi Mama memeluk Sazi eras.
'Aku cuma berpikir, siapa tahu aku bisa menjaga Mama di sana. Paling tidak, kalo Mama kangen aku, aku selalu ada di samping Mama:'
Ih... siapa yang kangen sama kamu?" Mama menco­wel pipi Sazi.
"Asyik! Aku pindah sekolah ke Australi ... !" Sazi gi­rang sambil jingkrak-jingkrak.
"Kalo gitu, Mama terima tawaran itu. Besok kita urus kepindahan sekolahmu"
"Tapi, Ma..." Wajah Sazi tiba-tiba muram. Ia membayangkan akan berpisah dengan ketiga oomnya, juga dengan Gita.
'lo, katanya senang, bisa ikut ke Australi? Kok sekarang sedih? Kalo kamu keberatan, Mama bisa nolak tawaran itu kok"
Ah, nggak kok, Ma. Aku siap kok!"
Mama mengusap-usap kepala Sazi, lalu berlalu dari kamar.
Setelah Mama pergi, Sazi kembali berbaring di tempat tidur. Tatapannya menerawang.
Pagi-pagi Mama kasih kejutan. Sazi sama sekali nggak pernah mimpi bakal hidup di luar negeri. Dan kenapa mesti Australia, negara tempat David tinggal? Benarkah tawaran ke Mama adalah bagian dari rencana Tuhan agar Sazi bisa dekat dengan David?
Dada Sazi langsung dipenuhi kupu-kupu terbang saat membayangkan David. Apalagi saat is ingat SMS terakhir dari David. jelas-jelas kan cowok itu bilang I Love You ke Sazi.
Teringat David lagi, Sazi jadi semakin malas bangun. Ia tertidur lagi.
Seminggu serasa begitu lambat bagi Sazi, menunggu keberangkatannya ke Australia. Dan ketika waktunya telah tiba, pagi-pagi ia sudah menghubungi Gita.
"Lagi ngapain, Git?"
"Di mobil, baru mau jalan ke sekolah'
"Doain gue ya, Git. Siang ini gue berangkat'
"Atas nama masa depan, gue doain lo, Saz. Tapi atas nama teman, gue berdoa, moga-moga nggak ada seko­lah di sana yang mau nerima elo. Hehehe..."
"Jahat lo!"
"Bercanda, Neng! Yang pasti, bakalan ada cowok yang patah hati, Saz. Dipa!"
"Bodo amat ah! Eh, elo udah cerita ke dia soal kepin­dahan gue ini, ya?" tanya Sazi antusias.
"Tenang, Saz. Belum! Begitu gue sampai di sekolah nanti, pasti gue akan cerita tentang elo. Gue mau bikin dia penasaran!"
"Balas dendam nih?"
"Habis, dia sombong banget sih. Ingat nggak, sebe­lum bazar kan dia Bering banget ke kelas kita. Habis itu, boro-boro deh  " Dari nada suaranya di ujung tele- Pon, ketahuan Gita sedang bete.
"Hehehe... biar rasa tuh cowok!"
"Betul, Saz. Tapi... gue perlu tanya sekali lagi nih. Dipa nggak pernah ke kelas kita lagi, bukan karna cintanya lo tolak, kan?"
Pa? Ya ampun, Git, gue mesti nerangin hal ini berapa kali sih?"
"Ya udah, gitu aja sewot. Gue kan cuma negesin lagi , "
 Ya udah'
"Take care ya, Saz. Sering-sering kirim kabar ke gue. Pokoknya begitu nyampai di sang, lo kabarin gue.
Sazi menghela napas. Seandainya Baja Dipa memberi kabar. Tidak menghindar tanpa kabar seperti ini.
Senin pagi, di kantin SMA Sentosa, sepeninggal Gita yang bercerita tentang keberangkatan Sazi ke Australia, Dipa termenung. Tangannya masih memegang sehelai Surat yang siap dikirimkannya untuk Sazi. Surat berisi ungkapan hatinya, namun tak pernah sampai ke tangan Sazi.
Dipa tertunduk, membaca tulisannya sendiri.
Dear Sazi,
Sejak pertama gue ngeliat elo, sebenarnya gue udah suka sama elo. Terutama pribadi Io. Lo anak orang kaya, tajir banget malah, tape gue nggak pernah ngehhat lo nyombongin kekayaan
lo. Beda banget sama cewek-cewek tapir di sekolah kita.
Saz gue, juga suka sama sifat lo yang lain. Lo nggak banyak omong. Tapi begitu lo dibutuhin, lo akan nunjukin siapa lo sebenarnya. Gue, nggak nyangka, lo bisa bikin Wieke mati kutu saat beran­tem di kantin siang itu.
Tentang perasaan gue, gue lega udah bisa jujur sama elo, meskipun cara gue nembak elo hanya berani lewat lagu.
Terima kasih, Saz, karena elo ternyata punya perasaan yang sama. Thank's a lot! Itu artinya kita sama-sama sayang, kan?
Jujur aja, lo cinta pertama gue, Saz...
Tapi...
Keberanian gue cuma Sampai nyatain perasaan gue ke elo. Buat nerusin hubungan kita, kayaknya gue belum berani.
Oh ya, terima kasih kaset jawaban dari elo. Indah banget kata-kata cintanya. Tapi sekah lagi... sori, gue, nggak bisa!!
Love,
Dipa Arsanoli
Dipa melipat kembali surat berwarna merah jambu itu. Surat itu sudah lecek karena ia membuatnya sudah lama tapi nggak pernah berani mengirimkan-nya ke Sazi. Kini ia kembali membuka surat itu karena Gita memberitahukan kepindahan Sazi ke Australia.
Saat mendengar berita itu, Dipa kaget sekaligus merasa bersalah, tapi nggak sanggup berkata-kata. la hanya bisa ngomong, "Salam buat Sazi ya, Git!"
Dipa memandangi foto Sazi. Foto acara bazar beberapa waktu yang lalu. Dielusnya foto itu dengan telunjuk kanannya. Dipa tidak berbohong, ia memang mencintai Sazi. Tapi cinta saja tak cukup. Menurut Dipa, butuh keberanian lebih untuk menjadi kekasih Sazi. Dipa cuma anak biasa, sedangkan Sazi anak orang kaya.
Menghindari Sazi, menurut Dipa, adalah pilihan terbaik buat mereka berdua. Dipa nggak ingin Sazi berharap lebih padanya. Banyak bertemu dan mengobrol dengan cewek itu pasti akan menimbulkan harapan di hati mereka.
Terserah, Sazi akan berpikiran jelek tentang dirinya. Dipa akan terima dengan lapang dada karena jalan yang sudah dipilihnya.
Dipa meraih handphonenya. Ngecek kembali apakah setting  untuk menyembunyikan nomor HP-nya sudah
ia atur dengan baik. Sebentar kemudian ia sudah ter­sambung dengan HP Sazi.
"Halo... ini Sazi. Tolong  tinggalin pesan, sebentar lagi gue hubungi elo," rekaman suara Sazi terdengar.
Dipa menutup handphone-nya. la melirik jam ta­ngannya. jam dua. Pasti Sazi sudah berada di dalam pesawat.
Dipa memang ingin menghindari Sazi, tapi ia nggak munafik. Di kala rasa kangennya muncul, ia menelepon Sazi dengan nomer HP yang nggak mungkin bisa terla­cak oleh Sazi. Mendengar Sazi mengucapkan "Halo" atau dengerin suara Sazi, rasa kangen Dipa sepertinya sudah terobati. Setelah itu ia cepat-cepat menutup HP-nya lagi.
Dipa kembali menatap foto Sazi.
Sori, Saz, gue nggak pantes buat elo....
Di kamar Hotel Meridien Canberra, Australia
jam menunjukkan pukul empat sore. Sazi semakin gelisah. Begitu sampai di Australia kemarin, Pak Fred langsung menelepon mama Sazi. Keluarga Pak Fred
mengundang Mama den Sazi makan malam di rumah mereka di Sidney.
David juga menelepon Sazi. Katanya, dia akan secepatnya menemui Sazi. Kangen beret katanya! Sazi tertawa mendengar ucapan David itu.
'Ah, baru beberapa minggu nggak ketemu, udah kangen segala. Ngibul banget!"
"What! Ngibul? Apa tuh?" tanya David. la tersing-gung Sazi menyangsikan kata-katanya. Katanya ia akan benar-benar membuktikan bahwa rasa rindunya. pada Sazi sudah nggak terbendung lagi.
Dan sore ini, David janji akan datang menemui Sazi di hotel.
Ting tong! Terdengar bel pintu berbunyi. Sazi buru-buru menuju pintu. Lewat lubang kaca kecil ia mengintip. Ada sosok yang sedang berdiri di luar, yang sebenarnya diam-diam Sazi rindukan. Begitu pintu ter-buka, David langsung memeluknya eras.
"I miss you...,
OU... " gumam cowok itu tepat di telinga Sazi.
"Hes... tenang dikit dong", ujar Sazi dengan napas terengah-engah karena pelukan David.
My I
"Aku... aku nggak bisa napas. Meluknya jangan kenceng-kenceng dong..."
"Habis, aku kangen sama kamu..."
"Iya, aku juga kangen sama kamu
"I love you, Sazi..."
"I love you too, David..."
Dan Sazi pasrah waktu David mencium bibirnya. Ciuman yang hangat, seakan tak ingin lepas kali saja mama Sazi tidak muncul dan berdeham kuat-kuat.
David dan Sazi tersenyum. Wajah mereka merona karena kepergok. Tapi mama Sazi maklum. Putrinya sedang jatuh cinta.
Ya, banyak cara yang kita lalui untuk menemukan cinta. Seperti Sazi, yang tak menyangka cinta pertama­nya akan berlabuh di hati David.



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar