GENTING
Wajah Sazi pucat pasi. Keringat dingin mengucur di wajahnya.
Tangannya dingin dalam genggaman
tangan sahabatnya, Gita. Beberapa kali ia
melihat ke luar ruang UKS. Tatapannya
menyiratkan kebingungan yang amat sangat.
"Gimana,
Git? Masih ada?" tanya Sazi dengan wajah resah.
Gita menggeleng. "Ntar ya, gue
lihat dulu!" Dilepaskannya tangan
sahabatnya. Lalu ia menuju jendela ruang UKS. Gorden jendela ia singkapkan sedikit. Dari celah gorden, Gita
melihat beberapa wartawan sedang dudukduduk di pintu gerbang sekolah.
"Masih ada, Sazi'
Sazi ikut
melangkah ke jendela. Tapi tetap saja ia bertanya pada sahabatnya itu.
"Berapa orang?"
"Kira-kira masih ada lima. Dua dari infotainment, yang lain
wartawan koran atau apalah, gue nggak ngerti "
"Aduh... trus sampai kapan mereka betah
nongkrong di situ, dan sampai kapan
kita tetap di sini?" suara Sazi sedih.
"Iya nih. Nggak punya perasaan banger tuh
wartawan. Emangnya nggak ada orang lain yang bisa mereka wawancarai
selain elo ya?" Gita ikut-ikutan geram.
Sazi cuma diam. Betul kata Gita, kenapa mesti dia yang
dikejar-kejar para wartawan itu?
Gita melangkah ke arah tempat Sazi duduk. Kasihan sekali sahabatnya itu. Sudah tiga hari ini, setiap
kali jam masuk sekolah dan jam bubaran sekolah, Sazi dikejar-kejar wartawan. Tiga hari juga Sazi stres
karena ulah mereka. Begitu Sazi keluar
dari mobil dan akan ke kelasnya, para
wartawan sudah mengerumuninya seperti
semut ngerumunin gula. Ibarat lebah, setiap wartawan "berdengung" mengajukan pertanyaan. Barengan,
lagi. Mereka bahkan Baling dorong hanya untuk mendapatkan
gambar Sazi dan pernyataan dari mulut gadis itu.
Dua
hari yang lalu, di hari pertama anak-anak SMA Sentosa
masuk sekolah, para wartawan sudah terlihat di depan pintu gerbang sejak
pagi. Sazi nggak nyangka korban para wartawan itu adalah dirinya. Begitu is turun dari mobil, tape recorder,
kamera, kilatan lampu blitz dari kamera fotografer semua diarahkan padanya.
Cecaran pertanyaan datang
bertubi-tubi: "Sazi, apa pendapat kamu tentang ulah mamamu yang jadi
selingkuhan aktor terkenal itu?"
"Sazi, kamu siap punya papa seorang artis?" "Sazi, kamu
tahu nggak kalau mamamu sudah nikah di bawah tangan dengan pemain sinetron
itu?" "Sazi, komentar don& jangan diam begitu"
"Sazi, kamu harus berkomentar!!"
Sazi shock,
meskipun nggak shock berat! la nggak siap dihadapkan dengan kenyataan
bahwa para wartawan itu sampai perlu mewawancarinya gara-gara gosip tentang
mamanya beredar. Sazi nangis sesenggukan. Sampai-sampai Bu Yanti harus turun
tangan untuk menemani Sazi di ruang BP.
Jam pelajaran
pertama dan kedua, Sazi nggak ikut. Di jam pelajaran ketiga, adik mama
Sazi, Oom Ruben, datang ke sekolah untuk menjemput Sazi pulang.
Dasar wartawan
nggak kenal nyerah, saat Oom Ruben datang menjemput Sazi pun
mereka masih bergerombol di depan gerbang
sekolah. Seperti halnya Sazi, Oom Ruben nggak ngeluarin sepatah kata
pun. Mereka langsung masuk ke mobil dan melesat pergi meninggalkan wartawan.
Dan
kemarin, Sazi shock lagi. Dari kejauhan is sudah
bisa melihat beberapa mobil infotainment berjejer parkir di jalan dekat
sekolahnya. Pasti Sazi akan dikejar-kejar lagi. Tapi ia harus masuk sekolah
karena ada ulangan bahasa Inggris di jam
pelajaran kedua. Untungnya, ia ditemani Oom Ruben saat berangkat
sekolah. Setelah diskusi di mobil, akhirnya Sazi dan oomnya punya ide. Sazi
bisa masuk ke sekolah tanpa melewati para
wartawan tengil itu. Sazi segera menelepon handphone Gita dan minta
tolong agar pintu kecil di samping
sekolahnya, yang selama ini Bering dipakai keluar-masuk petugas kebersihan,
dibuka. Berhasil!
Akhirnya, Sazi
selamat dari kepungan wartawan dan bisa mengikuti
pelaJaran sampai jam pelajaran terakhir. Konsekuensinya, ia nggak bisa leluasa keluar kelas pada jam
istirahat karena kamera para wartawan infotainment selalu diarahkan ke
kelasnya. Bagaimana pulang sekolahnya? Sazi pakai trik yang sama. la keluar
lewat pintu samping lagi.
Nah, hari ini? Trik yang ia pakai kemarin sudah nggak
mungkin dipakai lagi. Para wartawan itu sekarang sudah terbagi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama, jumlahnya agak banyak, bergerombol di de-pan gerbang sekolah. Kelompok kedua, jumlahnya nggak
sampai sepuluh orang, siap-siap mencegat Sazi di pintu samping itu. Agaknya
mereka tabu kemarin
Sazi sudah mengecoh
mereka, dan kini mereka nggak mau lagi terkecoh.
Tadi pagi, masih ditemani Oom Ruben,
Sazi melakukan trik berjalan secepat mungkin di samping oomnya. Lumayan
berhasil. Trik yang dijalankan: Oom Ruben merangkul
Sazi eras-eras di sisi kanannya sambil berkata, "Sori... sori...
keponakan saga akan masuk ke kelas, sori banget!"
Sebenarnya tadi pagi Oom Ruben sudah
menasihati Sazi agar nggak masuk sekolah
dulu. Alasan Oom Ruben, gosip miring yang menerpa mama Sazi biar sedikit
mereda. Tapi sampai berapa lama Sazi harus nggak masuk sekolah? Sehari? Dua
hari? Seminggu? Masa haknya bersekolah
harus kalah dengan kepentingan wartawan yang hanya menginginkan
komentar darinya? Nggak cleh! Rugi amat!
Drrt... drrt ...
! HP Sazi berbunyi. Lamunannya buyar.
Mamanya telepon.
"Ngg...
nggak apa-apa kok, Ma... Bener... Tenang aja, Ma,
... Nggak, nggak apa-apa. Tiap hari untuk sementara ini Oom Ruben yang ngantar
dan ngejemput. Gimana rapatnya, Ma? Nanti
pulangnya malam kan, Ma? Sazi beliin cokelat ya, Ma. Dah... Mama! "
Sazi menghela napas dalam-dalam. Mamanya
sudah tahu bahwa gara-gara gosip miring itu, Sazi dikejar-ke‑
Sazi sudah mengecoh
mereka, dan kini mereka nggak mau lagi terkecoh.
Tadi pagi, masih ditemani Oom Ruben,
Sazi melakukan trik berjalan secepat mungkin di samping oomnya. Lumayan
berhasil. Trik yang dijalankan: Oom Ruben merangkul
Sazi eras-eras di sisi kanannya sambil berkata, "Sori... sori...
keponakan saga akan masuk ke kelas, sori banget!"
Sebenarnya tadi pagi Oom Ruben sudah
menasihati Sazi agar nggak masuk sekolah
dulu. Alasan Oom Ruben, gosip miring yang menerpa mama Sazi biar sedikit
mereda. Tapi sampai berapa lama Sazi harus nggak masuk sekolah? Sehari? Dua
hari? Seminggu? Masa haknya bersekolah
harus kalah dengan kepentingan wartawan yang hanya menginginkan
komentar darinya? Nggak cleh! Rugi amat!
Drrt... drrt ...
! HP Sazi berbunyi. Lamunannya buyar.
Mamanya telepon.
"Ngg...
nggak apa-apa kok, Ma... Bener... Tenang aja, Ma,
... Nggak, nggak apa-apa. Tiap hari untuk sementara ini Oom Ruben yang ngantar
dan ngejemput. Gimana rapatnya, Ma? Nanti
pulangnya malam kan, Ma? Sazi beliin cokelat ya, Ma. Dah... Mama! "
Sazi menghela napas dalam-dalam.
Mamanya sudah tahu bahwa gara-gara gosip miring itu, Sazi dikejar-kejar wartawan. Pasti Oom Ruben yang
memberitahu Mama.
Mama Sazi pengusaha terkenal di Indonesia. Saat ini is sedang
melakukan misi dagang ke Belanda bersama beberapa pengusaha terkenal lainnya.
Sebenarnya bisa saja Sazi telepon ke
mamanya dan menceritakan semua hal yang sedang terjadi di sini. Tapi...
kasihan Mama! Bukankah selama di Belanda
sang Mama harus kerja dan konsentrasi
penuh sama kerjaannya? Dan seperti ajaran mamanya, Sazi harus siap
menyelesaikan masalah apa pun selama mamanya nggak ada di sampingnya.
"Saz... udah satu jam lho kits ngumpet di sini. Pulang yuk?"
suara Gita membuyarkan lamunan Sazi.
"Wartawannya ada di mans?"
Sazi
menghela papas lagi. la udah nggak punya ide agar
bisa lolos dari kejaran para wartawan. Oom Ruben dan dua adik Mama yang
lain, hari ini dilarang Sazi untuk mengantar atau menjemput Sazi. Kasihan
mereka. Gars-gars gosip miring itu, kehidupan pribadi mereka ikut-ikutan terusik. Oom Ruben, misalnya, sudah dua hari
nggak kuliah gars-gars cemas memikirkan keponakannya. Sazi sampai harus
meyakinkan mereka bahwa dia nggak akan mengalami apa pun.
"Kalaupun
terpaksa, aku kan bisa diam aja. Nggak ngomong
apa-apa kan, Oom?" ujar Sazi ke Oom Ruben kemarin.
Akhirnya dengan
berat had Oom Ruben mengangguk dan menerangkan bahwa Sazi memang
nggak bisa selamanya menghindari wartawan. Sazi harus menghadapinya sendiri.
Lagi pula Oom Ruben hari ini harus menemui dosen pembimbingnya karena urusan
skripsi yang nggak kelar-kelar.
Brak! Pintu ruang UKS terbuka. Ada wajah Dipa dan Bu
Yanti di sang. Had Sazi berdebar-debar nggak keruan.
Yah... kenapa Dipa datang bawa-bawa Bu Yanti segala?
"Sazi, perlu kamu ketahui ya.
Sebenarnya Kepala Sekolah sudah memberi peringatan kepada para wartawan itu
agar tidak mengejar-ngejar kamu di jam-jam pelajaran. Tapi mereka keras kepala,
dan tetap akan menunggu kamu. Sampai dapat katanya;'ujar Bu Yanti sambil
mendekati Sazi.
"Makasih, Bu. Saya cuma berpikir
bagaimana cara menghindari mereka;'jawab Sazi sambil curi-curi pandang ke
Dipa.
"Terus
terang, kami para guru prihatin melihat kamu.
Bahkan kami sempat tidak tabu bahwa kamu masih
ada di jam pulang sekolah begini. Kebetulan Dipa yang memberitahu kami
bahwa kamu. clan Gita masih ada di ruangan ini"
"Makasih, Bu...," jawab
Gita sopan.
Sementara itu hari Sazi tetap bergemuruh. Kali ini ia heran, kenapa Dipa sampai
tahu keberadaannya? Bukankah
dirinya nggak pernah cerita perihal hal ini kepada siapa pun, kecuali kepada
sahabatnya, Gita?
Sazi memang
boleh ge-er. Kerumunan para wartawan sudah
tiga hari ini mengundang berbagai tanda tanya semua
siswa SMA Sentosa. Tanga dijelaskan pun,
seluruh siswa akan tahu bahwa Sazilah yang dikejar-kejar wartawan
karena mamanya digosipkan telah menikah dengan seorang pemain sinetron kawakan. Ditambah lagi, foto mama Sazi
clan pemain sinteron tersebut sudah menghiasi berbagai tabloid dan
koran.
Wartawan datang
ke sekolah Sazi sih sebenarnya sudah biasa. Beberapa murid SMA
Sentosa malah ada yang udah jadi selebriti atau calon selebriti.
Noni anak kelas 2B, misalnya, dia model terkenal.
Kalau ada janji wawancara, biasanya wartawan udah nongkrong di de-pan
gerbang sekolah nungguin Noni.
"Saz, apa perlu para guru
membantu kamu agar bisa lolos dari kerumunan para wartawan itu?" tanya Bu
Yanti.
"Nggak
perlu, Bu. Saya akan dijemput oom saya. Tapi oom
saya belum datang, jadi saya ngumpet di sini,'jawab Sazi bohong.
"Oke
kalau begitu. Kebetulan saya akan rapat dengan Pak Kepala Sekolah. Jam dua dimulai "
"Terima kasih, Bu" Sazi menganggukkan kepalanya
tanda hormat.
"Dipa, kalo perlu temani Sazi
sampai di gerbang sekolah ya. Kasihan dia.
Saya rapat dulu ya," ujar Bu Yanti sambil berlalu dari ruang UKS
itu.
"Ya, Bu,' jawab Dipa. Kemudian,
cowok jangkung anak kelas 2F itu menatap Sazi dan Gita.
"Ehm... ehm ... ' Gita pura-pura
berdeham. Bayangkan, dia melihat Sazi berdiri mematung beberapa langkah dari
Dipa, sang Ketua OSIS. Dan Gita memerhatikan,
Sazi nggak bisa menyembunyikan salah tingkahnya di depan Dipa.
"Tahu dari
mana, Dip, kami ada di ruangan ini. tanya Gita
sok cool.
"Dari
Erwan. Makanya gue nyamperin kalian ke situ.'
Gita
manggut-manggut. Sebagai sahabat yang baik, Gita memang nggak pernah cerita
tentang semua rahasia Sazi- ke siapa pun. Tapi tadi pagi, Gita nggak bisa
menyembunyikan kekhawatirannya tentang Sazi, dan berceritalah is pada Erwan,
sepupunya yang juga salah satu pengurus OSIS
SMA Sentosa. Kalau sampai akhirnya Dipa tahu, bisa ditebak, Erwan pasti
cerita tentang masalah Sazi kepada Dipa. Dan sebagai pengurus OSIS, akhirnya
mereka mungkin merasa bertanggung jawab atas keselamatan murid SMA Sentosa.
"Sori, Saz. Gue nggak bermaksud
turut camper urusan lo. Tapi paling nggak, kami siap ngebantu seandainya lo perlu bantuan," kata Dipa sambil
menatap wajah Sazi sesaat.
"Thanks ya" Hanya itu yang keluar dari mulut Sazi.
"Kami memang
butuh bantuan sih, Dip. Terns terang, sebenarnya gee dan Sazi udah
pengin banger kabur dari sini" Gita ambil inisiatif untuk cerita ke Dipa
begitu dilihatnya Sazi makin salah tingkah.
"Kalo gitu, kalian tunggu di
sini ya," ucap Dipa sambil keluar dari ruang UKS.
"Oke. Gue tunggu ya. Eh, Dip,
kalo ada, sekalian bawain makanan kecil kek. Sazi dari tadi udah ngeluh Taper
tuh "
"Sip!" Dipa berlalu dari ruangan
sambil mengacungkan jempol.
Begitu Dipa sudah berlalu.
"Apa-apaan sih, Git?" Muka Sazi manyun. Maklum, selama ada Dipa tadi,
dirinya dijadiin tameng oleh Gita.
"Please deh!
jangan sok ngingkariin perasaan sendiri! Bukannya lo suka Dipa ke sini? Bukannya
lo seneng Dipa man nolong ngeluarin lo dari sini? Bukannya kesempatan ngobrol
dan deket sama Dipa sudah lo tunggu-tunggu?"
"Auk,
ah!" Wajah Sazi masih manyun.
"Ngaku aja kenapa sih?!"
Sazi nggak
bereaksi. Dia malah mereka-reka apa yang akan dilakukan Dipa nanti. Aduh,
pare wartawan itu apa nggak punya kerjaan lain ya? Kalaupun Sazi mengeluarkan
pernyataan tentang mamanya, pasti dia hanya sanggup ngomong "no
comment" karena memang is nggak
pernah tahu pasti kebenaran gosip miring itu.
Di sisi lain, Sazi justru kagum pada
wartawan yang juga dijuluki kuli tinta atau kuli disket itu. Bayangkan, mereka rela menunggu narasumber berjam-jam, bahkan
sampai berhari-hari, hanya untuk mendapatkan pernyataan dari sang
narasumber. Untuk kasus dirinya, misalnya, Sazi sempat melihat beberapa
wartawan yang datang ke sekolahnya hari
ini adalah wartawan yang same sejak dua hari yang lalu. Berarti? Selama
tiga hari mereka mengejar dirinya, setiap
hari, sejak pagi sampai jam pulang sekolah. Hih... betapa bersemangatnya
mereka. Semangat '45 kalah, kali...
"Yah ... Sazi! Kok malah
ngelamun?"
"Ngg ... apaan, Git?" Wajah
Sazi tampak bingung. "Tentang Dipa, lo ngingkari perasaan lo sendiri, Saz.
Bukannya sejak kite masuk sekolah ini, lo udah naksir
dia? Udah setahun lho, Saz, lo mendem
perasaan lo" "Siapa bilang?" suara Sazi meninggi.
"Gue!"jawab
Gita cepat. Sebagai sahabat, Gita Bering
kali gemas melihat sikap,
Sazi. Meski mereka sudah sahabatan sejak kelas satu, Sazi nggak pernah curhat
tentang perasaannya. Terutama perasaannya terhadap cowok.
Tiba-tiba pintu ruang UKS terbuka
lagi. Ada Dipa, dan empat cowok lainnya:
Restu, Anggara, Congki, dan Erwan. Semuanya pengurus OSIS SMA Sentosa.
Tas kresek kecil warna hitam yang ditenteng
Dipa berpindah tangan ke Gita. Begitu
Gita membukanya, is tersenyum kecil. Ada pisang goreng plus air mineral.
Hehe... asyik buat ganjel perut, bisik Gita dalam hati.
"Siap, Saz?" tanya Dipa.
"Skenarionya begini. Gue lama teman-teman udah nyusun rencana untuk nyelametin
elo dari kejaran para wartamran itu. Keluar dari pintu samping, seperti yang
elo lakukan kemarin, jelas nggak mungkin. Keluar dari gerbang sekolah apalagi. Akhirnya, kami minta izin kepada Kepala Sekolah
agar beberapa mobil bisa masuk ke halaman sekolah untuk ngejemput elo
dan Gita. Setelah itu kita beriringan keluar," jelas Dipa.
Semua yang berada di ruangan itu
mendengarkan penjelasan Dipa. Pantas aja Dipa jadi ketua OSIS. Wibawa
dan kepemimpinannya pantas diperhitungkan. Diam-diam Sazi memuji
sikap, cowok itu.
Agar rencana berjalan matang, Dipa
menerangkan detail rencana yang harus dijalankan. Mobil Restu, mo‑
bil Anggara, mobil Dipa,
mobil Erwan, clan Pak Pujo—sopir Sazi—masuk ke halaman sekolah. Setelah itu
Sazi dan Gita masuk ke mobil Dipa. Dan secara beriringan mobil Restu, mobil
Anggara, mobil Dipa, mobil Erwan, dan mobil Sazi akan beriringan keluar. Sesuai
rencana, mobil Restu nanti yang paling depan, mobil
kedua mobil Sazi, mobil ketiga mobil yang berisi Dipa, Sazi, dan Gita,
lalu terakhir mobil yang berisi Erwan clan Congki.
"Sekali lagi, ingat, kita
beriringan keluar. Cuma itu Cara yang paling aman. Mereka nggak mungkin maksa
Sazi turun dari mobil, kan?" jelas Dipa. "Ada pertanyaan?"
"Setelah
berhasil keluar, kita ketemuan di tempat yang
sudah disepakati?" tanya Congki.
"Gini,
Saz, setelah berhasil keluar nanti, mobil nggak langsung ke rumah lo. Gue yakin di rumah lo pasti udah
banyak wartawan jugs" Bukannya menjawab pertanyaan Congki, Dipa justru
berbicara dengan Sazi.
"Sudan tiga
hari ini gue nginep di rumah oom gue. jadi
nggak ads wartawan yang tau,' jelas Sazi pasrah.
"Rumah oom lo di mans?"
tanya Dipa lagi.
"Di jalan Bangau. Ponclok Labu:'
"Gue tau", jawab
Restu sambil tunjuk jari. Lucu jugs nih anak, ngobrol sama Leman-temannya
sendiri pakai tunjuk jari segala. Kayak anak SD aja.
"Oke,
denger semua ya. Kalo, ada apa-apa, HP kalian harus stand-by.' tegas
Dipa.
Semua
yang ada di ruangan itu mengangguk. Wih... I Pesona
Dipa sebagai Ketua OSIS benar-benar terlihat di saat seperti itu.
"Oke
semua? Yuk ambil mobil masing-masing. Saz, suruh
sopir to masukin mobil ke halaman sekolah. Gue juga nanti mau koordinasi
sama para satpam sekolah;'ucap Dipa sambil melangkah pergi.
"Eh... tunggu!" ujar Sazi cepat. "Gue
berterima kasih banger sama kalian semua karena udah ngebantu gue. Tapi satu
permintaan gue: gue minta, apa pun tingkah para wartawan nanti, gue nggak mau kalian emosi clan melakukan tindak kekerasan
pacla mereka. Kalo kita sampai emosi apalagi
ada kekerasan, nanti malah nambah masalah baru,"Jelas
Sazi dengan wajah serius.
"Oke...!"
Semua menjawab serempak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar