Rabu, 30 Mei 2012

Genting (cerita bahasa indonesia) novel indonesia


GENTING

Wajah Sazi pucat pasi. Keringat dingin mengucur di wajahnya. Tangannya dingin dalam genggaman ta­ngan sahabatnya, Gita. Beberapa kali ia melihat ke luar ruang UKS. Tatapannya menyiratkan kebingungan yang amat sangat.
"Gimana, Git? Masih ada?" tanya Sazi dengan wajah resah.
Gita menggeleng. "Ntar ya, gue lihat dulu!" Dilepas­kannya tangan sahabatnya. Lalu ia menuju jendela ruang UKS. Gorden jendela ia singkapkan sedikit. Dari celah gorden, Gita melihat beberapa wartawan sedang duduk­duduk di pintu gerbang sekolah. "Masih ada, Sazi'
Sazi ikut melangkah ke jendela. Tapi tetap saja ia bertanya pada sahabatnya itu. "Berapa orang?"
"Kira-kira masih ada lima. Dua dari infotainment, yang lain wartawan koran atau apalah, gue nggak nger­ti "
"Aduh... trus sampai kapan mereka betah nongkrong di situ, dan sampai kapan kita tetap di sini?" suara Sazi sedih.
"Iya nih. Nggak punya perasaan banger tuh warta­wan. Emangnya nggak ada orang lain yang bisa mereka wawancarai selain elo ya?" Gita ikut-ikutan geram.
Sazi cuma diam. Betul kata Gita, kenapa mesti dia yang dikejar-kejar para wartawan itu?
Gita melangkah ke arah tempat Sazi duduk. Kasihan sekali sahabatnya itu. Sudah tiga hari ini, setiap kali jam masuk sekolah dan jam bubaran sekolah, Sazi di­kejar-kejar wartawan. Tiga hari juga Sazi stres karena ulah mereka. Begitu Sazi keluar dari mobil dan akan ke kelasnya, para wartawan sudah mengerumuninya seperti semut ngerumunin gula. Ibarat lebah, setiap wartawan "berdengung" mengajukan pertanyaan. Ba­rengan, lagi. Mereka bahkan Baling dorong hanya untuk mendapatkan gambar Sazi dan pernyataan dari mulut gadis itu.
Dua hari yang lalu, di hari pertama anak-anak SMA Sentosa masuk sekolah, para wartawan sudah terlihat di depan pintu gerbang sejak pagi. Sazi nggak nyangka korban para wartawan itu adalah dirinya. Begitu is turun dari mobil, tape recorder, kamera, kilatan lampu blitz dari kamera fotografer semua diarahkan pada­nya.
Cecaran pertanyaan datang bertubi-tubi: "Sazi, apa pendapat kamu tentang ulah mamamu yang jadi seling­kuhan aktor terkenal itu?" "Sazi, kamu siap punya papa seorang artis?" "Sazi, kamu tahu nggak kalau mamamu sudah nikah di bawah tangan dengan pemain sinetron itu?" "Sazi, komentar don& jangan diam begitu" "Sazi, kamu harus berkomentar!!"
Sazi shock, meskipun nggak shock berat! la nggak siap dihadapkan dengan kenyataan bahwa para warta­wan itu sampai perlu mewawancarinya gara-gara gosip tentang mamanya beredar. Sazi nangis sesenggukan. Sampai-sampai Bu Yanti harus turun tangan untuk menemani Sazi di ruang BP.
Jam pelajaran pertama dan kedua, Sazi nggak ikut. Di jam pelajaran ketiga, adik mama Sazi, Oom Ruben, datang ke sekolah untuk menjemput Sazi pulang.
Dasar wartawan nggak kenal nyerah, saat Oom Ruben datang menjemput Sazi pun mereka masih ber­gerombol di depan gerbang sekolah. Seperti halnya Sazi, Oom Ruben nggak ngeluarin sepatah kata pun. Mereka langsung masuk ke mobil dan melesat pergi meninggalkan wartawan.
Dan kemarin, Sazi shock lagi. Dari kejauhan is sudah bisa melihat beberapa mobil infotainment berjejer parkir di jalan dekat sekolahnya. Pasti Sazi akan dike­jar-kejar lagi. Tapi ia harus masuk sekolah karena ada ulangan bahasa Inggris di jam pelajaran kedua. Untung­nya, ia ditemani Oom Ruben saat berangkat sekolah. Setelah diskusi di mobil, akhirnya Sazi dan oomnya punya ide. Sazi bisa masuk ke sekolah tanpa melewati para wartawan tengil itu. Sazi segera menelepon handphone Gita dan minta tolong agar pintu kecil di samping sekolahnya, yang selama ini Bering dipakai ke­luar-masuk petugas kebersihan, dibuka. Berhasil!
Akhirnya, Sazi selamat dari kepungan wartawan dan bisa mengikuti pelaJaran sampai jam pelajaran terakhir. Konsekuensinya, ia nggak bisa leluasa keluar kelas pada jam istirahat karena kamera para wartawan info­tainment selalu diarahkan ke kelasnya. Bagaimana pu­lang sekolahnya? Sazi pakai trik yang sama. la keluar lewat pintu samping lagi.
Nah, hari ini? Trik yang ia pakai kemarin sudah nggak mungkin dipakai lagi. Para wartawan itu seka­rang sudah terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, jumlahnya agak banyak, bergerombol di de-pan gerbang sekolah. Kelompok kedua, jumlahnya nggak sampai sepuluh orang, siap-siap mencegat Sazi di pintu samping itu. Agaknya mereka tabu kemarin

Sazi sudah mengecoh mereka, dan kini mereka nggak mau lagi terkecoh.
Tadi pagi, masih ditemani Oom Ruben, Sazi melaku­kan trik berjalan secepat mungkin di samping oomnya. Lumayan berhasil. Trik yang dijalankan: Oom Ruben merangkul Sazi eras-eras di sisi kanannya sambil berka­ta, "Sori... sori... keponakan saga akan masuk ke kelas, sori banget!"
Sebenarnya tadi pagi Oom Ruben sudah menasihati Sazi agar nggak masuk sekolah dulu. Alasan Oom Ruben, gosip miring yang menerpa mama Sazi biar sedikit mereda. Tapi sampai berapa lama Sazi harus nggak masuk sekolah? Sehari? Dua hari? Seminggu? Masa haknya bersekolah harus kalah dengan kepenting­an wartawan yang hanya menginginkan komentar dari­nya? Nggak cleh! Rugi amat!
Drrt... drrt ... ! HP Sazi berbunyi. Lamunannya buyar. Mamanya telepon.
"Ngg... nggak apa-apa kok, Ma... Bener... Tenang aja, Ma, ... Nggak, nggak apa-apa. Tiap hari untuk se­mentara ini Oom Ruben yang ngantar dan ngejemput. Gimana rapatnya, Ma? Nanti pulangnya malam kan, Ma? Sazi beliin cokelat ya, Ma. Dah... Mama! "
Sazi menghela napas dalam-dalam. Mamanya sudah tahu bahwa gara-gara gosip miring itu, Sazi dikejar-ke‑
Sazi sudah mengecoh mereka, dan kini mereka nggak mau lagi terkecoh.
Tadi pagi, masih ditemani Oom Ruben, Sazi melaku­kan trik berjalan secepat mungkin di samping oomnya. Lumayan berhasil. Trik yang dijalankan: Oom Ruben merangkul Sazi eras-eras di sisi kanannya sambil berka­ta, "Sori... sori... keponakan saga akan masuk ke kelas, sori banget!"
Sebenarnya tadi pagi Oom Ruben sudah menasihati Sazi agar nggak masuk sekolah dulu. Alasan Oom Ruben, gosip miring yang menerpa mama Sazi biar sedikit mereda. Tapi sampai berapa lama Sazi harus nggak masuk sekolah? Sehari? Dua hari? Seminggu? Masa haknya bersekolah harus kalah dengan kepenting­an wartawan yang hanya menginginkan komentar dari­nya? Nggak cleh! Rugi amat!
Drrt... drrt ... ! HP Sazi berbunyi. Lamunannya buyar. Mamanya telepon.
"Ngg... nggak apa-apa kok, Ma... Bener... Tenang aja, Ma, ... Nggak, nggak apa-apa. Tiap hari untuk se­mentara ini Oom Ruben yang ngantar dan ngejemput. Gimana rapatnya, Ma? Nanti pulangnya malam kan, Ma? Sazi beliin cokelat ya, Ma. Dah... Mama! "
Sazi menghela napas dalam-dalam. Mamanya sudah tahu bahwa gara-gara gosip miring itu, Sazi dikejar-kejar wartawan. Pasti Oom Ruben yang memberitahu Mama.
Mama Sazi pengusaha terkenal di Indonesia. Saat ini is sedang melakukan misi dagang ke Belanda bersama beberapa pengusaha terkenal lainnya. Sebenarnya bisa saja Sazi telepon ke mamanya dan menceritakan semua hal yang sedang terjadi di sini. Tapi... kasihan Mama! Bukankah selama di Belanda sang Mama harus kerja dan konsentrasi penuh sama kerjaannya? Dan seperti ajaran mamanya, Sazi harus siap menyelesaikan masalah apa pun selama mamanya nggak ada di sampingnya.
"Saz... udah satu jam lho kits ngumpet di sini. Pu­lang yuk?" suara Gita membuyarkan lamunan Sazi.
"Wartawannya ada di mans?"
Sazi menghela papas lagi. la udah nggak punya ide agar bisa lolos dari kejaran para wartawan. Oom Ruben dan dua adik Mama yang lain, hari ini dilarang Sazi untuk mengantar atau menjemput Sazi. Kasihan mereka. Gars-gars gosip miring itu, kehidupan pribadi mereka ikut-ikutan terusik. Oom Ruben, misalnya, sudah dua hari nggak kuliah gars-gars cemas memi­kirkan keponakannya. Sazi sampai harus meyakinkan mereka bahwa dia nggak akan mengalami apa pun.
"Kalaupun terpaksa, aku kan bisa diam aja. Nggak ngomong apa-apa kan, Oom?" ujar Sazi ke Oom Ruben kemarin.
Akhirnya dengan berat had Oom Ruben mengang­guk dan menerangkan bahwa Sazi memang nggak bisa selamanya menghindari wartawan. Sazi harus mengha­dapinya sendiri. Lagi pula Oom Ruben hari ini harus menemui dosen pembimbingnya karena urusan skripsi yang nggak kelar-kelar.
Brak! Pintu ruang UKS terbuka. Ada wajah Dipa dan Bu Yanti di sang. Had Sazi berdebar-debar nggak keruan. Yah... kenapa Dipa datang bawa-bawa Bu Yanti segala?
"Sazi, perlu kamu ketahui ya. Sebenarnya Kepala Sekolah sudah memberi peringatan kepada para warta­wan itu agar tidak mengejar-ngejar kamu di jam-jam pelajaran. Tapi mereka keras kepala, dan tetap akan menunggu kamu. Sampai dapat katanya;'ujar Bu Yanti sambil mendekati Sazi.
"Makasih, Bu. Saya cuma berpikir bagaimana cara menghindari mereka;'jawab Sazi sambil curi-curi pan­dang ke Dipa.
"Terus terang, kami para guru prihatin melihat kamu. Bahkan kami sempat tidak tabu bahwa kamu masih ada di jam pulang sekolah begini. Kebetulan Dipa yang memberitahu kami bahwa kamu. clan Gita masih ada di ruangan ini"
"Makasih, Bu...," jawab Gita sopan.
Sementara itu hari Sazi tetap bergemuruh. Kali ini ia heran, kenapa Dipa sampai tahu keberadaannya? Bu­kankah dirinya nggak pernah cerita perihal hal ini ke­pada siapa pun, kecuali kepada sahabatnya, Gita?
Sazi memang boleh ge-er. Kerumunan para wartawan sudah tiga hari ini mengundang berbagai tanda tanya semua siswa SMA Sentosa. Tanga dijelaskan pun, seluruh siswa akan tahu bahwa Sazi­lah yang dikejar-kejar wartawan karena mamanya digosipkan telah menikah dengan seorang pemain sinetron kawakan. Ditambah lagi, foto mama Sazi clan pemain sinteron tersebut sudah menghiasi berbagai tabloid dan koran.
Wartawan datang ke sekolah Sazi sih sebenarnya sudah biasa. Beberapa murid SMA Sentosa malah ada yang udah jadi selebriti atau calon selebriti. Noni anak kelas 2B, misalnya, dia model terkenal. Kalau ada janji wawancara, biasanya wartawan udah nongkrong di de-pan gerbang sekolah nungguin Noni.
"Saz, apa perlu para guru membantu kamu agar bisa lolos dari kerumunan para wartawan itu?" tanya Bu Yanti.
"Nggak perlu, Bu. Saya akan dijemput oom saya. Tapi oom saya belum datang, jadi saya ngumpet di sini,'jawab Sazi bohong.
"Oke kalau begitu. Kebetulan saya akan rapat de­ngan Pak Kepala Sekolah. Jam dua dimulai "
"Terima kasih, Bu" Sazi menganggukkan kepalanya tanda hormat.
"Dipa, kalo perlu temani Sazi sampai di gerbang se­kolah ya. Kasihan dia. Saya rapat dulu ya," ujar Bu Yanti sambil berlalu dari ruang UKS itu.
"Ya, Bu,' jawab Dipa. Kemudian, cowok jangkung anak kelas 2F itu menatap Sazi dan Gita.
"Ehm... ehm ... ' Gita pura-pura berdeham. Bayang­kan, dia melihat Sazi berdiri mematung beberapa lang­kah dari Dipa, sang Ketua OSIS. Dan Gita memerhati­kan, Sazi nggak bisa menyembunyikan salah tingkahnya di depan Dipa.
"Tahu dari mana, Dip, kami ada di ruangan ini. ta­nya Gita sok cool.
"Dari Erwan. Makanya gue nyamperin kalian ke situ.'
Gita manggut-manggut. Sebagai sahabat yang baik, Gita memang nggak pernah cerita tentang semua raha­sia Sazi- ke siapa pun. Tapi tadi pagi, Gita nggak bisa menyembunyikan kekhawatirannya tentang Sazi, dan berceritalah is pada Erwan, sepupunya yang juga salah satu pengurus OSIS SMA Sentosa. Kalau sampai akhirnya Dipa tahu, bisa ditebak, Erwan pasti cerita tentang masalah Sazi kepada Dipa. Dan sebagai peng­urus OSIS, akhirnya mereka mungkin merasa bertang­gung jawab atas keselamatan murid SMA Sentosa.
"Sori, Saz. Gue nggak bermaksud turut camper urus­an lo. Tapi paling nggak, kami siap ngebantu seandai­nya lo perlu bantuan," kata Dipa sambil menatap wajah Sazi sesaat.
"Thanks ya" Hanya itu yang keluar dari mulut Sazi.
"Kami memang butuh bantuan sih, Dip. Terns te­rang, sebenarnya gee dan Sazi udah pengin banger ka­bur dari sini" Gita ambil inisiatif untuk cerita ke Dipa begitu dilihatnya Sazi makin salah tingkah.
"Kalo gitu, kalian tunggu di sini ya," ucap Dipa sam­bil keluar dari ruang UKS.
"Oke. Gue tunggu ya. Eh, Dip, kalo ada, sekalian bawain makanan kecil kek. Sazi dari tadi udah ngeluh Taper tuh "
"Sip!" Dipa berlalu dari ruangan sambil mengacung­kan jempol.
Begitu Dipa sudah berlalu. "Apa-apaan sih, Git?" Muka Sazi manyun. Maklum, selama ada Dipa tadi, dirinya dijadiin tameng oleh Gita.
"Please deh! jangan sok ngingkariin perasaan sendiri! Bukannya lo suka Dipa ke sini? Bukannya lo seneng Dipa man nolong ngeluarin lo dari sini? Bukannya ke­sempatan ngobrol dan deket sama Dipa sudah lo tung­gu-tunggu?"
"Auk, ah!" Wajah Sazi masih manyun.
"Ngaku aja kenapa sih?!"
Sazi nggak bereaksi. Dia malah mereka-reka apa yang akan dilakukan Dipa nanti. Aduh, pare wartawan itu apa nggak punya kerjaan lain ya? Kalaupun Sazi mengeluarkan pernyataan tentang mamanya, pasti dia hanya sanggup ngomong "no comment" karena memang is nggak pernah tahu pasti kebenaran gosip miring itu.
Di sisi lain, Sazi justru kagum pada wartawan yang juga dijuluki kuli tinta atau kuli disket itu. Bayangkan, mereka rela menunggu narasumber berjam-jam, bahkan sampai berhari-hari, hanya untuk mendapatkan pernya­taan dari sang narasumber. Untuk kasus dirinya, misal­nya, Sazi sempat melihat beberapa wartawan yang da­tang ke sekolahnya hari ini adalah wartawan yang same sejak dua hari yang lalu. Berarti? Selama tiga hari me­reka mengejar dirinya, setiap hari, sejak pagi sampai jam pulang sekolah. Hih... betapa bersemangatnya me­reka. Semangat '45 kalah, kali...
"Yah ... Sazi! Kok malah ngelamun?"
"Ngg ... apaan, Git?" Wajah Sazi tampak bingung. "Tentang Dipa, lo ngingkari perasaan lo sendiri, Saz.
     Bukannya sejak kite masuk sekolah ini, lo udah naksir
dia? Udah setahun lho, Saz, lo mendem perasaan lo" "Siapa bilang?" suara Sazi meninggi.
"Gue!"jawab Gita cepat. Sebagai sahabat, Gita Bering
kali gemas melihat sikap, Sazi. Meski mereka sudah sahabatan sejak kelas satu, Sazi nggak pernah curhat tentang perasaannya. Terutama perasaannya terhadap cowok.
Tiba-tiba pintu ruang UKS terbuka lagi. Ada Dipa, dan empat cowok lainnya: Restu, Anggara, Congki, dan Erwan. Semuanya pengurus OSIS SMA Sentosa. Tas kresek kecil warna hitam yang ditenteng Dipa berpindah tangan ke Gita. Begitu Gita membukanya, is tersenyum kecil. Ada pisang goreng plus air mineral. Hehe... asyik buat ganjel perut, bisik Gita dalam hati.
"Siap, Saz?" tanya Dipa. "Skenarionya begini. Gue lama teman-teman udah nyusun rencana untuk nyela­metin elo dari kejaran para wartamran itu. Keluar dari pintu samping, seperti yang elo lakukan kemarin, jelas nggak mungkin. Keluar dari gerbang sekolah apalagi. Akhirnya, kami minta izin kepada Kepala Sekolah agar beberapa mobil bisa masuk ke halaman sekolah untuk ngejemput elo dan Gita. Setelah itu kita beriringan ke­luar," jelas Dipa.
Semua yang berada di ruangan itu mendengarkan penjelasan Dipa. Pantas aja Dipa jadi ketua OSIS. Wi­bawa dan kepemimpinannya pantas diperhitungkan. Diam-diam Sazi memuji sikap, cowok itu.
Agar rencana berjalan matang, Dipa menerangkan detail rencana yang harus dijalankan. Mobil Restu, mo‑
bil Anggara, mobil Dipa, mobil Erwan, clan Pak Pujo—sopir Sazi—masuk ke halaman sekolah. Setelah itu Sazi dan Gita masuk ke mobil Dipa. Dan secara beriringan mobil Restu, mobil Anggara, mobil Dipa, mobil Erwan, dan mobil Sazi akan beriringan keluar. Sesuai rencana, mobil Restu nanti yang paling depan, mobil kedua mobil Sazi, mobil ketiga mobil yang berisi Dipa, Sazi, dan Gita, lalu terakhir mobil yang berisi Erwan clan Congki.
"Sekali lagi, ingat, kita beriringan keluar. Cuma itu Cara yang paling aman. Mereka nggak mungkin maksa Sazi turun dari mobil, kan?" jelas Dipa. "Ada pertanya­an?"
"Setelah berhasil keluar, kita ketemuan di tempat yang sudah disepakati?" tanya Congki.
"Gini, Saz, setelah berhasil keluar nanti, mobil nggak langsung ke rumah lo. Gue yakin di rumah lo pasti udah banyak wartawan jugs" Bukannya menjawab per­tanyaan Congki, Dipa justru berbicara dengan Sazi.
"Sudan tiga hari ini gue nginep di rumah oom gue. jadi nggak ads wartawan yang tau,' jelas Sazi pasrah.
"Rumah oom lo di mans?" tanya Dipa lagi.
"Di jalan Bangau. Ponclok Labu:'
"Gue tau", jawab Restu sambil tunjuk jari. Lucu jugs nih anak, ngobrol sama Leman-temannya sendiri pakai tunjuk jari segala. Kayak anak SD aja.
"Oke, denger semua ya. Kalo, ada apa-apa, HP kalian harus stand-by.' tegas Dipa.
Semua yang ada di ruangan itu mengangguk. Wih... I Pesona Dipa sebagai Ketua OSIS benar-benar terlihat di saat seperti itu.
"Oke semua? Yuk ambil mobil masing-masing. Saz, suruh sopir to masukin mobil ke halaman sekolah. Gue juga nanti mau koordinasi sama para satpam se­kolah;'ucap Dipa sambil melangkah pergi.
"Eh... tunggu!" ujar Sazi cepat. "Gue berterima ka­sih banger sama kalian semua karena udah ngebantu gue. Tapi satu permintaan gue: gue minta, apa pun tingkah para wartawan nanti, gue nggak mau kalian emosi clan melakukan tindak kekerasan pacla mereka. Kalo kita sampai emosi apalagi ada kekerasan, nanti malah nambah masalah baru,"Jelas Sazi dengan wajah serius.
"Oke...!" Semua menjawab serempak.



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar