KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur
penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini adalah salah satu faktor penilaian bagi dosen untuk
memberikan nilai pads UAS nanti yang wajib di tempuh oleh mahasiswa dan
mahasiswi Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Hindu Indonesia
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah
ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya.mengingat kurangnya
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang
menbangun sangat diharapkan oleh penulis.
Gianyar,05
Januari 2012
Penulis
I Wayan Diarta
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................
Daftar isi...................................................................................................................
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan...................................................... 4
1.4 Metode Penulisan............................................................................... 5
BAB II Pembahasan
2.1 Pengertian tentang teori mikroekonomi............................... 6
2.2 Kredit mikro : batasan dan kelembagaan............................. 7
2.3 Potensi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro.......................... 11
2.4 Prinsip Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia..................... 14
2.5 Strategi Pengembangan Keuangan Mikro....................... 17
2.6 Arah dan Strategi Pengembangan LKM........................................... 19
2.7 RUU lembaga keuangan mikro.......................................................... 22
2.8 Penguatan Kerangka Hukum Dan Pengaturan Keuangan
Mikro Indonesia................................................................................. 24
2.9 Kredit Usaha Tani (KUT).................................................................. 25
..... 2.10 Upaya Pengembangan Kredit
Usaha Mikro,Kecil, dan
Menengah (UMKM) oleh Bank Indonesia...................................... 28
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan......................................................................................... 29
3.2 Saran dan kritik................................................................................... 30
3.3 Daftar Pustaka.................................................................................... 31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagaimana
dimaklumi 97 % usaha kecil di Indonesia memiliki omset dibawah Rp. 50
Juta/tahun, meskipun batas atas omset usaha kecil adalah sampai Rp. 1 Miliar. Pada
dasarnya jika Indonesia ingin menjangkau usaha keeil terutama usaha kecil-kecil atau
usaha mikro tersebut semestinya secara khusus mengarahkan perhatiannya pada
kelompok ini karena mereka mewakili lebih dari 33 Juta pelaku usaha. Sampai
saat ini hampir belum terlihat adanya program khusus pemberdayaan usaha mikro,
padahal lapisan inilah penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia. Dalam setiap usaha pemberdayaan usaha
kecil setelah ada tiga aspek penting yang perlu dikembangkan yaitu;
1.
Lingkungan
kondusif dan sistem adiministrasi pemerintahan yang mendukung.
2.
Dukungan
non finansiai berupa jasa Perkreditan
3.
Dukungan
financial yang khusus ditujukan bagi usaha keeil.
Di
sub sektor perdagangan umum misalnya, sekitar 80% usaha perdagangan eceran yang
tidak berbadan hukum yang diwakili oleh 5,2 juta unit usaha hanya memiliki omset dibawah
Rp. 5 Juta/tahun, sehingga jumlah usaha ekonomi rakyat lapis bawah ini
benar-benar dengan skala gurem. Program yang secara bersinggungan mencoba
mengatasi masalah ini pada umumnya masih dikaitkan dengan program penanggulangan
kemiskinan. Untuk tidak mereka mencampur adukan permasalahan, maka tawaran
pendekatan yang dapat kita manfaatkan ialah dengan melihat sisi kehidupan masyarakat ini dari dua
sisi :
1.
Sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi balk dalam
bentuk produksi barang maupun jasa harus kita perlakukan sebagai usaha
mikro sehingga tujuan utamanya
adalah meningkatkan produktivitas dan kapasitas produktifnya
2.
Sebagai rumah tangga konsumen setiap
pendapatan/pengeluaran masyarakat yang masih belum melampaui batas garis
kemiskinan harus kita perlakukan sebagai penduduk miskin yang harus kita
tingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas tersebut.
Untuk mendorong usaha mikro ini memang disadari bahwa
modal bukan satu-satunya pemecahan, tetapi
tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang secara mudah dapat dijangkau mereka sangat vital, karena
pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi
oleh pelepas uang. Salah satu sebabnya adalah ketiadaan
pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untilk mendorong produktivitas oleh
kelompok ini, nilai tambahnya terbang
dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas
dari keberadaan Lembaga Keuangan yang hadir ditengah masyarakat.
Lingkaran setan yang melahirkan
jebakan ketidak berdayaan inilah yang menjadikan alasan penting mengapa lembaga keuangan mikro
yang menyediakan pembiayaan bagi
usaha mikro menempati tempat yang sangat strategis. Oleh karena itu kita
perlu memahami secara baik berbagai aspek lembaga keuangan mikro dengan
segmen-segmen pasar yang masih sangat beragam disamping juga masing-masing
terkotak-kotak.
Usaha mikro sering digambarkan
sebagai kelompok yang kemampuan permodalan UKM
rendah. Rendahnya akses UKM terhadap lembaga keuangan formal,
sehingga hanya 12 % UKM akses terhadap kredit bank karena:
1.
Produk
bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM;
2.
Adanya
anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit UKM;
3.
Biaya transaksi kredit UKM relatif
tinggi;
4. Persyaratan
bank teknis kurang dipenuhi (agunan, proposal);
5.
Terbatasnya
akses UKM terhadap pembiayaan equity;
6.
Monitoring dan koleksi kredit UKM
tidak efisien;
7.
Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan
oleh bank sendiri sehingga
biaya pelayanan UKM mahal;
8.
Bank
pada umumnya belum terbiasa dengan pembiayaan kepada UKM.
Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas
pertimbangan komersial membuat UKM sulit
memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan
persyaratan administratif lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Pengertian
tentang teori mikro ekonomi
2. Kredit
mikro : batasan dan kelembagaan
3. Potensi
Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
4.
Prinsip Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia
5.
Strategi Pengembangan Keuangan Mikro
6.
Arah dan Strategi Pengembangan LKM
7.
RUU lembaga keuangan mikro
8.
Penguatan Kerangka Hukum Dan
Pengaturan Keuangan Mikro Indonesia
9.
Kredit Usaha Tani (KUT)
10.
Upaya
Pengembangan Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) oleh Bank Indonesia
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan umum dari penulisan makalah
ini adalah sebagai media pembelajaran dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang
lembaga keuangan mikro untuk mahasiswa dan mahasiswi bagaimana pun juga setiap
orang akan menyadari bagaimana penting dan perannya dalam dunia perekonomian
Indonesia dewasa ini.
Selain tujuan umum diatas, adapun
tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu faktor
penilaian dosen terhadap mahasiswa dan mahasiswi. Pembuatan makalah ini
merupakan keharusan bagi mahasiswa dan mahasiswi untuk menyelesaikan tugas
akhir di semester ganjil ini.
1.4 Medote
Penulisan
Penulis mempergunakan
metode observasi dan kepustakaan. Cara-cara yang digunakan pads penelitian ini
adalah :
v Studi Pustaka
Dalarn metode ini penulis membaca
buku-buku yang berkaitan dengan penulisan makalah ini-.
v Broswsing Internet
Dalam metode ini penulis mencari
bahan penelitian melalu media internet. Penulis memmilih dan memilah
bahan-bahan apa yang yang mendukung mengenai topik dan judul yang penulis pilih
sendiri.
BAB II
Pembahasan
2.1 Pengertian Tentang Teori
Mikroekonomi
Anda
tentunya telah mengetahui artinya "mikro" yaitu kecil. Dengan
demikian teori mikro ekonomi atau ekonomi Mikro boleh diartikan sebagai "ilmu
ekonomi kecil".
Menerangkan arti teori mikroekonomi dengan menerjemahkan
masing-masing perkataan dalam istilah tersebut tidak akan memberikan penerangan
yang tepat mengenai arti dari konsep
mikroekonomi. Arti yang sebenarnya dapat dilihat dari corak dan ruang lingkup
analisisnya, teori mikroekonomi dapat didefinisikan sebagai: Suatu bidang
studi dalam ilmu ekonomi yang menganalisis mengenai bagian-bagian kecil dari
keseluruhon kegiaton perekonomion.
Isu pokok yang
dianalisis dalam teori mikroekonomi adalah; bagaimanakah caranya menggunakan
faktor-faktor produksi yang tersedia secara efisien agar kemakmuran
masyarakat dapat di maksimumkon? Analisis seperti ini dibuat
berdasarkan kepada pemikiran bahwa:
1.
Kebutuhan
dan keinginan manusia tidak terbatas
2.
Kemampuan
faktor-faktor prod u ksi menghasila ka n barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan masyarakat adalah terbatas
Berdasarkan pada pemikiran diatas,
teori mikroekonomi bertitik tolak pada pemisalan bahwa faktor-faktor produksi
yang tersedia selalau sepenuhnya digunakan. Keadaan ini mendorong masyarakat
untuk memikirkan cara yang paling efisien dalam menggunakan faktor-faktor
produksi yang tersedia.
2.2 Kredit
Mikro : Batasan dan Kelembagaan
Indonesia memiliki sejarah panjang
dan kaya akan ragam modal pembiayaan mikro. Pengalaman dan kekayaan ini
meliputi jenis produk pembiayaan mikro maupun lembaga pelaksananya, bahkan juga
sejarah pengenalannya kepada masyarakat. Oleh karena itu kekayaan ini tidak
bakal dibiarkan begitu saja dan disia-siakan untuk tidak diberikan tempat
terhormat untuk dikembangkan. Desakan akan pentingnya pengembangan ini akan
semakin terasa setelah krisis perbankan melanda Indonesia, sehingga perbankan
lumpuh dan tidak dapat menjadi lembaga yang efektif lagi.
Memang disadari bahwa pengertian
kredit mikro dapat diartikan bermacam-macam, karena memang produk kredit mikro
sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksanaannya juga bermacam-macam ditinjau dari segi sifat dan status legalnya.
Perbedaan-porbedaan ini juga merupakan ciri segmentasi pasar yang perlu
dipahami dan bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme
fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan bagi
penetapan kebijakan sesuai kelompok sasaran yang hendak dituju. Demikian latar
belakang program pengenalannya juga sapgat terkait dengan munculnya tantangan
yang dihadapi masyarakat ketika itu, namun demikian pembiayaan mikro tetap
mempunyai unipersatitas sebagai penyedia jasa keuangan bagai usaha mikro dan
kccil.
Perkreditan mikro selain dilihat dari
segi produk dan keiembagaannya juga dapat dilihat dari segi "permintaan
dan penawaran" atau dari sudut sumber dan penggunaan.
Gambaran ini akan menjelaskan
pembagian keda fungsional antar lembaga perkreditan mikro dengan berbagai
kelompok sasaran berdasarkan tingkat pendapatan dan bahkan dapat sangat terkait
dengan penggunaan kredit. Pendekatan ini sekaligus untuk memahami dinamika
perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan ekonomi rakyat.
Pada dasarnya kredit dapat dibedakan
dalam dua sifat penggunaan yaitu kredit produktif dan kredit konsumtif. Untuk
melihat sejauh mana sektor-sektor ekonomi produktif memberikan tanda adanya
permintaan pasar yang kuat perlu dikaji struktur ekonomi masingmasing sektor
berdasarkan atas pelaku usaha, disamping itu juga kaftan dengan sasaran ekspor
dan tersedianya dana sendiri oleh para pelaku usaha. Ciri pasar kredit mikro
adalah kecepatan pelayanan dan kesesuaian dengan kebutuhan pengusaha mikro.
Berdasarkan nilai kredit maka besarnya
kredit yang tergolong ke dalam kredit mikro lazimnya disepakati oleh perbankan
untuk pinjaman sampai dengan Rp. 50 juta/nasabah dapat digolongkan kedalam
kredit mikro. Ada yang berpendapat bahwa dalam masyarakat perbankan intemasional kredit mikro dapai
niencapai maksimum US $ 1000,-. Di Thailand baru dalam taraf pilot
project oleh Bank for Agriculture and Agricultural Cooperative (BAAC)
menetapkan kredit mikro adalah kredit dengan jumlah maksimum Bath
100.000/nasabah atau setara, dengan US $ 2.500,-. Dengan demikian kredit mikro
pada dasarnya menjangkau pada pengusaha kecil lapis bawah yang memiliki usaha
dengan perputaran
yang cepat.
Lembaga
perkreditan mikro, di Indonesia pada dasamya ada dua kelompok besar yakni Pertama, Bank terutama BRI unit dan BPR yang
beroperasi sampai ke pelosok tanah air; dan kelompok yang Kedua adalah
koperasi, baik koperasi simpan pinjam yang khusus rnelayani jasa keuangan
maupun unit usaha simpan pinjam dalam berbagai macam koperasi. Disamping itu
terdapat LKM lain yang diperkenalkan oleh berbagai lembaga baik pemerintah
maupun Lembaga Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan dan lain-lam, maupun
swasta/lembaga non pemerintah seperti yayasan, LSM, dan LKM lainnya termasuk
lembaga keagamaan.
Pada gambar I dapat diperlihatkan
pada bagian atas adalah sumber dana atau modal yang dapat diakses oleh usaha
kecil dan sekaligus lembaga yang menanganinya. Dari gambar tersebut secara,
fungsional memang terlihat bahwa masing-masing lembaga perkreditan mempunyai
segmen-segmen pasar tersendiri. Pada garis ke kanan menggambarkan, bahwa untuk
mencapai tujuan peningkatan investasi atau penggunaan modal untuk proses nilai
tambah, ada dua jenis langkah yang harus ditempuh yaitu pada lembaga keuangan
modern maka yang terpenting adalah bagaimana memperbaiki akses oleh UKM terhadap,
fasilitas pembiayaan yang telah disediakan. Sementara, pada kelompok penyedia
kredit mikro yang berskala sangat kecil perlu pengembangan jaringan
kelembagaannya agar efektif dalam pelayanan.
Pada bagian lain dapat dilihat
kelompok pengguna dana dan jumlah unit usaha / nasabah potensial yang dapat
dilayani oleh masing-masing Lembaga Keuangan. Gambar ini memberikan penjelasan
secara rinci segmen besaran pinjaman dan khalayah sasaran yang dapat dijadikan
nasabah, sehingga setiap pengembang program akan secara mudah mengenali kearah
mana mereka akan membawa program dan dukungan LKM yang diperlukan sesuai dengan kelembagaan. Dari sini juga
sekaligus akan menjelaskan jumlah sasaran potensial sehingga secara mudah kita akan mampu mengenali kelompok mana yang
paling terpinggirkan dari pelayanan kredit.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di
Indonesia telah membuktikan bahwa :
1.
Tumbuh dan berkembang di masyarakat
serta melayani usaha mikro dan kecil (UKM);
2.
Diterima sebagai sumber pembiayaan
anggotanya (UKM);
3.
Mandiri
dan mengakar di masyarakat;
4.
Jumlah cukup banyak dan penyebarannya
meluas;
5.
Berada dekat dengan masyarakat, dapat
menjangkau (melayani) anggota dan masyarakat;
6.
Memiliki prosedur dan persyaratan
peminjaman dana yang dapat dipenuhi anggotanya (tanpa agunan);
7.
Merribantu memecahkar, masalah
kebutuhan dana yang selama ini ticlak bisa dijangkau oleh kelompok miskin;
8.
Mengurangi
berkembangnya pelepas uang (money lenders);
9.
Membantu menggerakkan usaha produktif
masyarakat dan ;
10.
LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat
sehingga setiap surplus yang dihasilkan oleh LKM bukan bank dapat kembali
dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik.
Keunggulan
diatas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha kecil karena
merupakan sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh UKM (terutama usaha mikro).
Pelajaran BRI-Unit sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah memberikan
pelayanannya sampai ke pelosok tanah air dengan tingkat bunga pasar dan tidak
ada memerlukan subsidi. Disamping itu secara empires tingkat pengembalian baik,
mutu pelayanan lebih penting dalam mengenal orang dan memahami nasabah serta cash
flow sebagai pengganti
kollateral fisik. Pendekatan kelompok juga terbukti efektif sebagai pressure group dan mengurangi biaya dan resiko dalam
penyaluran.
Lembaga keuangan
mikro lainnya yarg akhir-akhir ini tumbuh pesat adalah lernbaga keuangan
syariah yang penyelenggaraannya dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus
(bank muamalat) dan bank lain serta BPR-S,
sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) dibawah pembinaan Pusat lakubisnis Usaha Kecil (PINBUK), Baitul Tamwil (BTM)
yang dikembangkan oleh Baitul Mal Wa Tamwil dan Koperasi Syirkah Muawanah yang
digairahkan oleh pesantren- pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk
koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali
tidak terkait dengan institusi pengembang.
2.3
Potensi Pengembangan Lembaga Keuangan
Mikro
Bentuk lain kredit mikro yang diakui keberhasilannya
oleh dunia adalah pola Grameen Bank yang
dirancang untuk memecahkan Perkreditan bagi keluarga miskin. Modal ini terbukti
telah berhasil membangkitkan kegiatan ekonomi bagi kelompok penduduk miskin di
Bangladesh, sehingga dianggap sangat sesuai untuk memecahkan penyediaan modal
bagi penciptaan kegiatan produktif untuk penduduk miskin. Mat Syukur (2001)
dalam hasil studinya mengemukakan bahwa Karya Usaha Mandiri (KUM) yang
merupakan reflikasi gremeen bank sangat etektif sebagai instrumen delivery
untuk kelompok sasaran, namun sustainability dart program ini tanpa dukungan
dari luar yang terus menerus masih dipertanyakan, demikian juga daya saing
terhadap produk kredit mikro lain belum secara nyata menunjukan keunggulannya.
Di dunia memang diakui bahwa Grameen Bank adalah sistem perbankan sosial yang
terbaik dan paling berhasil, sehingga menjadi model yang tepat sebagai
instrumen pemberdayaan ekonomi kelompok penduduk miskin.
Jika BRI unit telah diakui
sebagai The Biggest and The Best Micro Banking System in the
world, maka Grameen Bank adalah The Best Social Banking System, perbedaannya
terletak pada kemampuan untuk memobilisasi dana masyarakat dan kegiatan usaha
secara komersial yang sehat tanpa subsidi
untuk perbankan mikro seperti yang telah ditunjukkan BR-Unt. Sementara
Grameen Bank terletak pada kemampuannya untuk menjangkau masyarakat miskin
menjadi produktif dan siap masuk dalam arus kegiatan ekonomi biasa serta memanfaatkan mekanisme perbankan yang biasa,
meskipun akhirnya juga dikedakan oleh Grameen Bank sendiri tapi tidak
tertutup untuk menjadi nasabah bank lain. Di Indonesia yang memiliki kekuatan
koperasi sebagai sumber pembiayaan mikro terbesar kedua setelah BRI-Unit,
struktur kelembagaannya masih sangat terfragmentasi dan belum bergerak sebagai
sistem kembaga keuangan yang efisien, oleh karena daya dobraknya tidak dapat
kelihatan meluas dan terkesan kurang produktif. Di negara seperti Kanada,
India, Korea, dan lain-lain lembaga keuangan mikro yang diselenggarakan
koperasi menjadi kekuatan efektif untuk pembiayaan anggota koperasi balk para
petani, peternak, produsen, maupun konsumen. Pada dasarnya potensi pengembangan
LKM masih cukup luas karena :
1.
Pengembangan
Usaha mikro dan kecil belum seluruhnya dapat dilayani atau dijangkau oleh LKM
yang ada
2. LKM berada di tengah
masyarakat
3.
Ada
potensi menabung oleh masyarakat karma rendahnya penyerapan investasi didaerah,
terutama di pedesaan
4.
Dukungan
dari lembaga dalam negeri dan internasional cukup kuat
Segmentasi pasar lembaga keuangan mikro pada umumnya adalah
kelompok usaha mikro yang dianggap oleh bank :
1.
Tidak
memiliki persyaratan yang memadai
2.
Tidak
memiliki agunan yang cukup
3.
Biaya
transaksinya mahal / tinggi
4.
Lokasi
kelompok miskin tidak berada dalam jangkauan kantor cabangnya
Permintaan kredit bagi Lembaga Keuangan Mikro dapat
diperhitungkan masih sangat luas dan segmennya bermacam-macam. Hal ini mengingat sebagian besar
kelompok usaha mikro belum dapat dilayani
oleh bank. Kelompok peminjam tersebut meliputi usaha produktif
masyarakat yang memiliki perputaran usaha tinggi dan dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan modal kerja.
Tabel 1
Peta Lembaga Keuangan Mikro
Peta Lembaga Keuangan Mikro
Jenis LKM
|
Total
|
Peminjam
(Ribu orang)
|
Peminjaman
(Juta rupiah)
|
Rata-rata
Pinjaman
(Rp. Ribu)
|
Jumlah
Deposit
(Rp. Juta)
|
LDR
|
BRI Unit
|
3.694
|
2.5 i 8
|
6.141.400
|
2.439
|
17.477.868
|
0,36
|
BPR Non BKD
|
2.427
|
1.889
|
3.066.078
|
1.623
|
2.621.709
|
1,89
|
Badan Kredit Desa
|
5.345
|
726
|
147.648
|
203
|
24.003
|
6,15
|
KSP
|
1.097
|
655
|
530.814
|
810
|
166.625
|
3,19
|
USP
|
35.218
|
10.141
|
3.629.053
|
359
|
1.156.804
|
3,14
|
Lembaga
Dana
Kredit Pedesaan
|
2.272
|
1.326
|
358.000
|
270
|
334.000
|
1,07
|
Lembaga
Pengadaian
|
685
|
10.000
|
793.000
|
793
|
---
|
---
|
Sumber : Bank
Indonesia 2001
Dilihat dari besarnya kredit yang disalurkan maka dua
kekuatan besar penyelenggara kredit mikro
adalah BRI-unit dan koperasi (KSP dan USP) yang masing-masing menyumbang
sebesar 46 % dan 31 % terhadap total kredit mikro. Ditinjau dari jangkauan
pelayanan memang koperasi yang paling dominan bailk dari segi titik pelayanan
(unit lembaga) maupun nasabah (peminjam), kemudian BRI menerapati urutan kedua
dalam jumlah nasabah dan BKD dalam titik
pelayanan. Jika diamati lebih lanjut segmen kredit mikro papan atas
memang sebagian terbesar ditangani BRI meskipun rata-rata peminjamnya hanya Rp.
2.439.000 jauh dibawah batas maksimum Rp. 50 Juta. Sementara BPR masih merupakan lembaga yang meminjamkan dananya dibawah
BRI. Koperasi dan perkreditan lain nampaknya benar-benar melayani
lapisan paling bawah dari pelaku kegiatan produktif karena secara rata-rata
menangani peminjam dibawah Rp. 1 Juta.
Ditinjau dari kemampuan memobilisasi dana masyarakat hampir
semua LKM, kecuali BRI unit sangat lemah sebagaimana ditunjukkan oleh angka LDR
diatas 1. BRI unit yang berhasil memobilisasi
tabungan rnencapai Rp. 17 triliun lebih hanya meminjamkan sekitar Rp.
6,1 triliun, LDKP meskipun kecil sangat lokal dan terbatas mempunyai kemampuan
mobilisasi tabungan masyarakat yang cukup bagus. Dalam kaitar. dengan koperasi
ketidak mampuan mobilisasi tabungan ini bersumber dari dua hal :
1. Koperasi memungkinkan menggunakan "modal penyertaan"
sesuai ketentuan UU 25/1992 yang dapat memberikan konsesi pada keikutsertaan
pengelolaan sebagai pengganti jaminan bagi deposito yang tidak dimiliki oleh
koperasi, tapi hanya ada pada bank.
2. Istilah deposito tidak dikenal dalam koperasi
yang ada adalah tabungan dan biasanya
tabungan sering diperlakukan sebagai modal luar saja. Hal ini menyebabkan data deposito
menjadi "under recorded" atau tidak tercatat pada posnya. Jika modal
penyertaan dan tabungan lain dicatat sebagai deposit pasti angka LDR
setidak-tidaknya mendekati LKDP, karena sifat koperasi yang selalu mengutamakan
prinsip pelayanan dari, oleh dan untuk anggota.
2.4 Prinsip
Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia
Pengembangan Keuangan Mikro dan
pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro merupakan lapgkah yang tepat dalam usaha
pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi rakyat. Hal tersebut terutama
karena dengan sistem dan cara masing-masing LKM telah mengakar dan tumbuh
bersama perkembangan masyarakat, dan terbukti telah mampu memberikan pelayanan
memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah yang tidak terjangkau
oleh layanan keuangan lainnya. Oleh sebab itu pengembangan keuangan mikro tidak cukup hanya
dilakukan melalui pengembangan Bank Perkreditan Rakyat, BRI Unit Desa dan
kegiatan bank umum lainnya, pegadaian, atau Koperasi Simpan Pinjam. Oleh sebab itu diperlukan pengakuan
atas eksistensi lembaga keuangan mikro sebagai entitas tersendiri. Dalam usaha menanggulangi kemiskinan
dan menggerakkan ekonomi rakyat penguatan, pemberdayaan,
dan pengembangan keuangan mikro perlu dilakukan dengan prinsip :
1. Menghormati keragaman, keunikan, dan keterkaitan keuangan
mikro dengan perkembangan masyarakat.
2. Memberikan
pengakuan dan legalitas atas
keberadaan keuangan mikro dan lembaga keuangan mikro
3. Memberikan perlindungan
kepada masyarakat yang terlibat dalam kegiatan keuangan
mikro
4.
Memprioritaskan strategi
pengembangan keuangan mikro atas dasar gerakan bersama dari semua pihak yang terkait dengan pengembangan keuangan
mikro,
5.
Arah dan
Strategi Pengembangan LKM
Permasalahan yang dihadapi oleh LKM terutama LKM bukan bank
pada dasamya. dapat digolongkan ke dalam hal-hal
yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat internal meliputi
keterbatasan sumberdaya manusia, manajemen yang belum efektif sehingga kurang
efisien serta keterbatasan modal. Sementara faktor yang bersifat eksternal
meliputi kemampuan monitoring yang belum efektif, pengalaman yang lemah serta,
infrastruktur yang kurang mendukung. Kondisi inilah yang mengakibatkan
jangkauan pelayanan LKM terhadap usaha mikro masih belum mampu menjangkau
secara luas, sehingga pengembangan LKM yang luas akan sangat penting perannya
dalam membantu investasi bagi usaha mikro dan kecit.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat LKM dapat
dilakukan melalui :
1.
Perkuatan
permodalan dan manajemen lembaga keuangan masyarakat (KSP/USP dan LKM);
2.
Penggalangan
dukungan dan fasilitasi pembiayaan UKMK dengan lembaga keuangan;
3.
Penggalangan
partisipasi berbagai pihak dalam pembiayaan UKMK (Pemda, Laur Negeri, d1l);
4.
Optimalisasi
pendayagunaan potensi pembiayaan UKMK di daerah (Bagian Laba BUMN, Dana
Bergulir, Yayasan, Bantuan Luar Negeri);
5.
Peningkatan
Capacity Building LKM;
6.
Training
bagi pengelola LKM, untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM;
7.
Perlu
adanya lembaga penjamin untuk menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah LKM dan;
8.
BDS
yang mampu memberikan fasilitasi manajemen, keuangan, dll.
Pengembangan KSP dan LKM kedepan harus diarahkan untuk
menjadikan KSP dan LKM sehat, kuat, merata
dan mampu menyediakan kebutuhan pembiayaan usaha mikro dan kecil agar mampu
menghadapi tantangan untuk melaksanakan otonomi daerah. Pengendalian dan
pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan
manajemen), meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pengelola KSP/USP-LKM
melalui diktat terus menerus sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan layanan
bagi anggota, meningkatkan jumlah produk keuangan yang didukung dengan
pengembangan jejaring.
Pengembangan
jejaring antara lain meliputi jejaring :
- Antar KSP/LKM, mendayagunakan lembaga
simpan pinjam sekunder yang berperan mengatur interlending diantara KSP/USP
Koperasi dan LKM;
- Antara KSP/USP dan LKM dengan lembaga
keuangan lain, meningkatkan akses untuk dana pinjaman maupun equity.
Dalam memperkuat USP/KSP
ke depan paling tidak ada tiga langka yang harus dilakukan : Pertama, harus
dilakukan pemisahan koperasi simpan pinjam dan tidak boleh
dicampur/dilaksanakan sebagai bagian dari koperasi serba usaha, terutama bila
USP sudah mepJadi besar dan sangat dominant Kedua, harus segera
diorganisir kedalam kelompok‑kelompok KSP
sejenis untuk melaksanakan integrasi secara utuh, sehingga peminjaman dan penyaluran dana antar KSP dapat terjadi dan
berjalan efektif-, Ketiga, perlu dikembangkan sistem asuransi tabungan
anggota, asuransi resiko kredit serta lembaga keuangan pendukung lainnya.
Disamping itu mekanisme pengawasan yang baik dan efektif akan menjamin
bekerjanya mekanisme mobilisasi dana dan pemanfaatannya secara efektif.
Pengalaman keberhasilan Bank Bukopin yang mengembangkan
supervise dan sistem on-line pada pola Swamitra juga teiah membuktikan, bahwa
integrasi KSP dengan Lembaga Keuangan Modern/berpengalaman dalam hal ini bank
akan memperkuat kedudulmn koperasi. Model ini harus menjadi pelengkap cara
memajukan KSP ditanah air.
Berbagai dukungan
perkuatan seperti perkuatan permodalan : P2KER (Proyek Pengembangan Kemandirian
Ekonomi Rakyat), PUK (Pengembangan Usaha Kecil), Dana Penghematan Subside BBM,
MAP (Modal Awal dan Padanan) akan terus diupayakan, pengendalian (monitoring,
evaluasi, pengawasan, penilaian kesehatan) LKM juga akan terus dikembangkan,
pengembangan pola dan lembaga penjaminan lokal serta pengembangan biro kredit
informasi kinerja UMK di masa lalu (track record)
Arah Lembaga Keuangan Mikro ke Depan
1.
Mengatasi legal status agar jelas,
diarahkan menjadi Bank, Koperasi atau LKM yang saat ini sedang disiapkan RUU
LKM;
2.
Pengawasan lebih intensif untuk
melindungi pihak ketiga (penabung);
3.
Pengembangan
jaringan melalui penumbuhan lembaga keuangan sekunder, jaringan on line
untuk peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat lokal.
Dengan demikian pelayanan yang luas
serta menjangkau lapisan usaha mikro yang luas akan membawa pasar keuangan
lebih bersaing, sehingga ketergantungan usaha mikro terhadap pelepas uang dapat
ditekan atau ditiadakan. Pola pengembangan LKM juga harus memberikan pilihan
yang luas bagi masyarakat nasabah apakah melalui pola konvensional atau pola
bagi hasil (pola syariah).
2.5 Strategi Pengembangan Keuangan
Mikro
Strategi
pengembangan keuangan mikro mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.
Mengembangkan pendampingan yang mandiri dan
berkelanjutan, termasuk
melakukan penguatan lembaga-lembaga pendampingan terutama yang berfungsi
rnenghubungkan sector formal dan non-formal.
2.
Memadukan pendekatan kelompok dan individual
sesuai dengan kebutuhan dan penerimaan masyarakat.
3.
Mengembangkan
keterpaduan antara penyaluran pinjaman dan mobilisasi tabungan masyarakat, sekaligus menjadikan tabungan sebagai
basis system dan kekuatan keuangan mikro.
4.
Membangun
kapasitas lembaga keuangan mikro, melalui kerjasama dengan pergurtian tinggi,
lembaga pendamping, dunia usaha, lembaga internasional, kerjasama antar LKM, dan instansi pemerintah; terutama dalam hat
peningkatan kemampuan sumberdaya manusia;
system dan prosedur operasi, teknotogi, terutama teknologi informasi; jaringan kerjasama; dan
aksesibilitas terhadap berbagai dukungan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan
kepada masyarakat.
5.
Menegaskan kembali sekaligus
memberikan pengakuan dan apresiasi terhadap arti peranan perempuan dalam setiap usaha pengembangan
keuangan mikro.
6.
Mengembangkan lembaga-lembaga penunjang keuangan
mikro sebagai berikut:
a.
lembaga yang dapat berfungsi sebagai sumber permodalan
bagi lembaga keuangan mikro (secondary source of fund), baik melalui
pengembangan keterkaitan (linkage) dengan bank dan lembaga keuangan yang sudah
ada maupun
melalui pengembangan lembaga pendanaan (wholeseler of fund, polling offund) khusus untuk keuangan mikro.
b.
Lembaga yang dapat menjalankan fungsi perlindungan atas
simpanan dan pinjaman.
c.
Lembaga pengawasan, yang sekaligus melakukan standarisasi
minimal terhadap praktik keuangan mikro, supervise, audit, rating, dan
sertifikasi lembaga keuangan
mikro.
d.
Lembaga yang
dapat melaksanakan fungsi-fungsi pengembangan keuangan mikro,
mulai dari sosialisasi peran dan fungsi KM, pengembangan SDM, pengembangan system dan prosedure, pengembangan
teknologi, dan pengembangan data-base keuangan mikro Indonesia; Berta
e.
Lembaga yang membangun jaringan
kerjasama (network) antar LKM.
7.
Perlu dipikirkan untuk
dipertimbangkan dibentuknya semacam lembaga "bank sentral alternatif bagi LKM" yang dibentuk oleh
pemerintah, Bank Indonesia dan (asosiasi) LKM.
8.
Mewujudkan komitmen perbankan dalam
pengembangan keuangan mikro, khususnya dengan
memastikan agar alokasi dana senilai Rp. 4,6 trilyun dalam 'business-plan' perbankan
yang diperuntukkan bagi pengusaha mikro yang memiliki integritas dan kapabilitas teruji. Dalam hal ini perlu
dikembangkan strategi Hubungan Bank dan Lembaga Keuangan Mikro (HBL) sebagai pengembangan dari strategi Hubungan
Bank dan Kelompok (HBK).
9.
Mengembangkan dan
menguatkan keriasama dengan berbagai lembaga internasional baik dalam bidang keuangan, bantuan teknis bagi
pembangunan kapasitas, maupun dalam pengembangan jaringan kerjasama
dan hubungan dengan pihak-pihak lainnya.
10.
Mengembangkan dan menguatkan keriasama dengan clunia
usaha terutama dalam bentuk pengembangan kerjasama bisnis, 'sharing'
kompetensi, 'sharing' jaringan kerjasama, dan 'sharing ' modal.
2.6 Arah
dan Strategi Pengembangan LKM
Permasalahan yang dihadapi oleh LKM terutama LKM bukan
bank pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam hat-hal yang bersifat internal
dan ekstemal. Yang bersifat internal meliputi keterbatasan sumberdaya manusia,
manajemen yang belum efektif sehingga kurang efisien serta keterbatasan modal.
Sementara faktor yang bersifat eksternal meliputi kemampuan monitoring yang
belum efektif, pengalaman yang lemah serta infrastruktur yang kurang mendukung.
Kondisi inilah yang mengakibatkan jangkauan Delayanan LKM terhadap usaha mikro
masih belum mampu menjangkau secara luas, sehingga pengembangan LKM yang luas
akan sangat penting perannya dalam membantu investasi bagi usaha mikro dan kecil.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat LKM dapat
dilakukan melalui :
1. Perkuatan permodalan dan manajemen lembaga keuangan masyarakat (KSP/USP dan LKM);
2. Penggalangan
dukungan dan fasilitasi pembiayaan UKMK dengan lembaga, keuangan;
1. Penggalangan partisipasi berbagai pihak dalam pembiayaan UKMK
(Pemda, Laur Negeri, dll);
2.
Optimalisasi pendayagunaan potensi
pembiayaan UKMK di daerah (Bagian Laba BUMN, Dana Bergulir, Yayasan, Bantuan
Luar Negeri);
3.
Peningkatan Capacity Building LKM;
4.
Training
bagi pengelola LKM, untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM;
5.
Perlu adanya lembaga penjamin untuk
menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah LKM dan;
6.
BDS yang mampu memberikan fasilitasi
manajemen, keuangan, dll.
Pengembangan KSP dan LKM kedepan harus diarahkan untuk
menjadikan KSP dan LKM sehat, kuat, merata dan mampu menyediakan kebutuhan
pembiayaan usaha mikro dan kecil agar mampu
menghadapi tantangan untuk melaksanakan otonomi daerah. Pengendalian dan
pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan
manajemen), meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pengelola KSP/USP-LKM
melalui diktat terus menerus sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan layanan
bagi anggota, meningkatkan jumlah produk keuangan yang diclukung dengan
pengembangan jejaring. Pengembangan jejaring antara lain meliputi jejaring :
-
Antar KSP/LKM, mendayagunakan lembaga simpan pinjam sekunder yang berperan mengatur interlending
diantara KSP/USP Koperasi dan LKM;
- Antara KSP/USP dan LKM dengan lembaga keuangan lain, meningkatkan
akses untuk dana pinjaman maupun equity.
Dalam memperkuat USP/KSP ke depan paling tidak ada tiga
langkah yang harus dilakukan : Pertama, harus dilakukan pemisahan
koperasi simpan pinjam dan tidak boleh dicampur/dilaksanakan sebagai bagian
dari koperasi serba usaha, terutama bila USP suclah nienjadi besar dan sangat
dominant Kedua, harus segera diorganisir kedalam kelompok-kelompok KSP
sejenis untuk melaksanakan integrasi secara utuh, sehingga peminjarrian dan
penyaluran dana antar KSP dapat terjadi dan berjalan efektif; Ketiga, perlu
dikembangkan sistem asuransi tabungan anggota, asuransi resiko kredit serta
lembaga keuangan pendukung lainnya. Disamping itu mekanisme pengawasan yang
baik dan efektif akan menjamin bekerjanya mekanisme mobilisasi dana dan
pemanfaatannya secara efektif.
Pengalaman keberhasilan Bank Bukopin yang mengembangkan
supervise dan sistem on-line pada pola Swamitra juga telah membuktikan, bahwa
integrasi KSP dengan Lembaga Keuangan Modern/berpengalaman dalam hat im bank
akan memperkuat kedudukan koperasi. Model ini harus menjadi pelengkap cara
memajukan KSP ditanah air.
Berbagai dukungan perkuatan seperti perkuatan permodalan :
P2KER (Proyek Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat), PUK (Pengembangan Usaha
Kecil), Dana Penghematan Subside BBM, MAP (Modal Awal dan Padanan) akan terus
diupayakan, pengendalian (monitoring, evaluasi, pengawasan, penilaian
kesehatan) LKM juga akan terus dikembangkan, pengembangan pola dan lembaga
penjaminan lokal serta pengembangan biro kredit, informasi kinerja UMK di masa lalu (track record).
Arah Lembaga Keuangan
Mikro ke Depan
1.
Mengatasi
legal status agar jelas, diarahkan menjadi Bank, Koperasi atau LKM yang saat
ini sedang disiapkan RUU LKM;
2. Pengawasan
lebih intensif untuk melindungi pihak ketiga (penabung);
3. Pengembangan
jaringan melalui penumbuhan lembaga keuangan sekunder, jaringan on line untuk
peningkatan mute pelayanan kepada masyarakat lokal.
Dengan
demikian pelayanan yang luas serta menjangkau lapisan usaha mikro yang luas
akan membawa pasar keuangan lebih bersaing, sehingga ketergantungan usaha mikro
terhadap pelepas uang dapat ditekan atau ditiadakan. Pola pengembangan LKM juga
hares memberikan pilihan yang luas bagi masyarakat nasabah apakah melalui pola
konvensional atau pola bagi hasil (pola syariah). Baitul Mal Wa Tamwil (BMT)
sebagai model tertua LKM syariah saat ini telah memiliki 3.000 unit dibawah
perrtbinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), serta model Baitul
Tamwil Muhamadiyah (BTM), Koperasi Pondok Pesantren, Koperasi Syirqoh Mu'awanah
dan Lembaga Pengelolah Zakat yang mengembangkan program ekonomi produktif bagi
penerima zakat ini akan berkembang dan tumbuh lebih banyak LKM karma sudah ada
perlindungan hukum tetapi untuk LKM binaan memerlukan perlindungan tersendiri.
2.7
RUU Lembaga Keuangan Mikro
JAKARTA Dewan Koperasi Indonesia minta
rencana penerbitan UU Lembaga Keuangan Mikro dibatalkan karena merugikan badan hak umk operasi yang
bergerakdi bidang yang hampir sama. Raliansen Saragih, anggota Komite Advokasi
Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), mengatakan
rencana pendirian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang di InIsiasi Komisi
VI DPR sulit diterima terutama oleh gerakan koperasi simpan pinjam (KSP).
"Karena badan hukumnya tidak jelas, dan merugikan kelompok yang telah
memiliki badan hukum koperasi," ujarnya, kemarin.
Dalam draf rancangan UU tersebut
pendirian LKM direncanakan di seluruh daerah atau desa, tanpa badan hukum. Izin operasionalnya
cukup dari bupati sebagai kepala daerah setempat.
Dalam beberapa pertemuan dengan gerakan koperasi, kata Reliansen, disepakati agar
LKM didirikan berdasarkan badan hukum koperasi atau perseroan terbatas (PT)
seperti kehadiran BPR. "Soalnya, rencana
ini bertentangan dengan institusi LKM yang sudah eksis." Jika
rencana tersebut untuk mempermudah akses, lanjutnya, atla wacana sebaiknya pemerintah mernperkuat kinerja LKM yang sudah
eksis. Misalnya kelompok Baitul Maal wat Tanwil (BMT) yang kini umumnya
sudah berbadan hukum koperasi.
"Keiompok BMT ini merupakan bagian
dari LKM yang sudah beroperasi hingga ke tingkat kelurahan dan desa di
Indonesia."
Kehadiran BMT
berbadan hukum koperasi secara yuridiksi direalisasi melalui Surat keputusan bersama (SKB) beberapa
Kementerian. "Itu adalah alasan lain sehingga rencana pendirian LKM
melalui undang-undang kurang diterima LKM yang sudah eksis. Apalagi modalnya
cukup Rp 10 juta," kata Reliansen.
Jika kehadiran LKM yang bare tetap
diagendakan DPR, acuan badan hukumnya sebaiknya koperasi agar tidak menemui kendala defenisi. Dekopin menyadari
inisiatif DPR menerbitkan UU tentang LKM untuk mempermudah akses
pembiayaan sektor mikro.
Kalau konteksnya adalah
memberdayakan sektor mikro di perdesaan, sebaiknya pelaku usaha diperkuat
melalui bantuan sosial. "Sebab, tujuannya adalah mengangkat rakyat miskin,
dan metodanya hares melalui program bantuan sosial." kata Raliansen.
Airlangga Hartarto. Ketua Komisi VI DPR mengatakan daftar
inventarisasi masalah (DIM) rancangan UU tentang LKM sudah dalam pembahasan
pemerintah di antaranya Kementerian Koperasi dan UKM Berta Kementerian
Perindustrian.
Menyangkut
usulan agar UU tentang LKM dimasukkan saja dalam RUU Koperasi, ticlak bisa.
"Sebab RUU Koperasi dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) sedangkan RUU
LKM khusus membahas sektor keuangan mikro." katanya.
Tak
tertampng
Pembahasan terhadap
rancangan UU LKM dilakukan DPR kare-na memang ticlak tertampung dalam RUU
Koperasi. Selain itu tidak memenuhi syarat menjadi bank perkreditan rakyat
(BPR). "Ada perbedaan peraturannyaj ujar Airlangga.
Sebelumnya rencana
pembuatan UU tentang LKM diniliai mubazir karena berbagai aspek terkait
pemberdayaar, ekonomi kerakyatan sudah ditampung dalam UU Koperasi.
Forum Komunikasi dan Sinergi Koperasi Simpan Pinjam dan
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KSP/KJKS) bahkan meminta rencana penerbitan
Undang-Undang Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) yang digagas DPR clibatalkan saja.
"Rencana
penerbitan rencana Undang-Undang LKM itu ticlak jelas arahnva," ujar
Sahala Panggabean, Ketua Forum KSP/KJKS, belum lama ini.
Dasar hukum
pendirian LKM, dinilai juga kurang kuat karena hanya berclasarkan izin dari
pemerintah daerah. "Kami juga menilai tidak tepat jika dengan modal Rp10
juta sudah bisa beroperasi." tutur Sahala.
Forum KSP/KJKS memperkirakan
kalau rencana penerbitan UU
LKM diteruskan,
berdarnpak negatif bagi eksistensi kalangan koperasi di berbagai daerah,
khususnya koperasi simpan pinjam (KSP) yang merupakan bagian dari anggota Forum
KSP/KJKS.
Menurut Sahala,
pihaknya siap mengundang DPR yang menggagas penerbitan UndangUndang LKM untuk
memahami dan rnendalami visi dan misi menerbitkan ketentuan tersebut.
"Dari pertemuan itu akan terlihat jelas apa urgensinya."
Dalam penemuan
Forum KSP/KJKS bersama Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) serta perwakilan dari
pemerintah belum lama ini, pendirian LKr%4 melalui undang-undang dinilai sebagai
kehadiran kembali neojiberasime atau kapitalis.
"Kalau badan hukum
kehadiran LKM di seluruh Indonesia jelas, mungkin bisa dipertimbangkan. Namun
jika hanya alas izin kepala daerah, sepertinya bertentangan dengan semangat
koperasi."
2.8
Penguatan Kerangka Hukum Dan Pengaturan
Keuangan Mikro Indonesia.
Kerangka Hukum dan pengaturan
keuangan mikro sangat dibutuhkan bagi (1) perlindungan kepentingan masyarakat yang menyimpan uang di
LKM dan perlindungan atas azas legalitas LKM Berta dalam
hubungannya dengan lembaga lain; dan (2) penguatan dan pengembangan keuangan
mikro.
Kerangka hokum tersebut tidak harus mengarahkan
pengembangan LKM dalam jalur pengembangan perbankan, karena memang LKM bukan
bank dan bukan koperasi.
Kerangka hokum tersebut juga
harus memberikan toleransi dan apresiasi bagi LKM yang
kerana kondisinya belum memungkinkan untuk diatur dalam suatu perangka hukum dan
perundang-undangan yang ketat.
Menggunakan
draft RUU Keuangan Mikro yang tetah dirumuskan sebagai bahan diskusi, diharapkan dapat dilakukan peninjauan
dan pengkajian ulang menyangkut hal-hal:
1.
pengertian dan difinisi mengenai LKM
2.
Bahwa yang
dimaksud dengan LKM tidak dibatasi dengan besar simpanan Rp. 50 s/d Rp. 1 milyard, dan bahwa LKM yang memiliki simpanan lebih
besar dari 1 milyard tidak harus menjadi bank, tetapi
menclapat pengaturan yang iebih ketat
3.
Bagi LKM") dan ketentuan yang mengatur kerjasama LKM
dengan lembaga keuangan
lain (bank dan non-bank).
4. Bahwa dalam RUU KM perlu dicantumkan ketentuan mengenai
perlindungan terhadap nasabah, baik simpanan
maupun pinjaman; yang tidak harus berarti penjaminan.
5.
Bahwa RUU KM perlu lebih tegas mencantumkan perlindungan
terhadap LKM sehingga
tetao dapat menjadi organisasi dari, oleh, dan untuk masyarakat setempat.
2.9 Kredit Usaha Tani (KUT)
Salah satu bentuk perkreditan mikro
yang dikhususkan bagi pembiayaan pertanian pangan, khususnya padi yakni Kredit
Usaha Tani (KUT). KUT dibiayai dari kredit likuiditas Bank Indonesia dan
disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia dan kemudian beberapa bank lainnya.
Pelaksanaan penyaluran kredit kepada petani dilaksanakan oleh KUD dan sejak
1999 diperluas melalui koperasi-koperasi lain. Pengalaman KUT sebagai program
pemerintah menarik untuk dikaji sebagai
salah satu pengalaman tersendiri dalam khazanah pengembangan kredit
mikro.
Program Kredit Usaha Tani (KUT) yang
dimulai sejaV, musim tanam tahun 1985, dimaksudkan sebagai upaya untuk
mendukung peningkatan produksi bergs dalam negeri melalui penyediaan permodalan bagi petani dalam melakukan usaha tani
padi. Program KUT ini pada dasarnya merupakan pengganti kredit BIMAS
yang dinilai gagal dan menjadi terlalu mahal kalau diselenggarakan oleh Bank
sendiri. Disamping itu juga dikembangkan dengan maksud untuk memberi kesempatan
kepada KUD dalam pelayanan kepada petani yang potensial
menjadi anggota. Untuk itu sejak Musim Tanam (MT) 1985 sampai dengan MT 1996
telah disediakan dana untuk setiap tabunnya sekitar Rp 200 miliar. Besarnya
dana yang disediakan pada setiap tahun tersebut hanya dapat mennbiayai sekitar
3% dari lugs areal tanaman padi pada waktu.
Adapun tunggakan yang terjadi sebelum tahun 1995, yaitu sebesar Rp. 117
miliar telah dihapusbukukan dan dihapustagihkan. Penghapus bukuan ini juga
diakibatkan oleh kemacetan yang terjadi setiap tahun sejak 1985-1995, meskipun
persentasenya kecil..
Pada tahun 1998 dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam
negeri maka kebijakan yang diambil adalah
melakukan, program intensifikasi khusus. Kebijakan ini diambil dalam
rangka memenuhi ketersediaan pangan yang ketika itu mengalami kekurangan akibat
kekeringan atau kesulitan memperoleh pasokan import karena krisis nilai tukar.
Untuk mendukung realisasi perluasan areal intensifikasi sehingga 25 %
dibutuhkan ketersediaan dana sebesar Rp. 3,13 triliun. Kebutuhan dana tersebut
masih perlu ditambah dengan rencana perluasan areal intensifikasi khusus untuk
komoditi palawija dan hortikultura, sehingga total kebutuhan, dana KUT yang perlu disediakan pada tahun penyediaan (TP)
1998/1999 mencapai sebesar Rp. 4,37 triliun.
Berdasarkan rapat kordinasi
peningkatan produksi pangan tanggal 16 Oktober 1998 telah disepakati untuk
peningkatan sasaran areal KUT TP 1998/1999 di Pulau Jawa dari 25 % menjadi 50 %
sehingga total kebutuhan penyediaan dana KUT menjadi Rp. 6,53 triliun.
Realisasi KUT sejak TP 1995/1996 sampai dengan TP 1999/2000
secara kumulatif sebesar Rp. 10,53 triliun,
dimana tedadi tunggakan sebesar Rp. 7,22 triliun atau sebesar 68, 58 %
(posisi tanggal 3 oktober 2001) yang terdiri dari :
Tahun Penyediaan
(TP)
|
Realisasi
(Rp. Juta)
|
Tunggakan
|
|
(Rp Juta)
|
(%)
|
||
1995/1996
|
198.829
|
36.750
|
18,47
|
1996/1997
|
211.921
|
54.265
|
25,61
|
1997/1998
|
367.196
|
71.718
|
19,53
|
1998/1999
|
8.405.296
|
5.970.879
|
71,04
|
1999/2000
|
1.348.405
|
1.087.312
|
80,64
|
Total
|
10.531.747
|
7.220.924
|
68,56
|
Sumber kantor Meneg Koperasi dan UKM
Pada akhir tahun 1999 terjadi perubahan besar yaitu mulai
berlakunya UU 23/1999 tentang Bank Indonesia, dimana Bank Indonesia tidak lagi
diizinkan memberikan kredit likuiditas kepada
Bank Komersial yang berakibat tidak dapat dilanjutkannya pola kredit KUT.
Semula penyediaan kredit usaha tani akan diupayakan melalui surat utang
pemerintah (SUP) dan khusus untuk kebutuhan
tahun 2000 dialokasikan plafond sebesar 1,9 triliun rupiah yang berasal dari konsorsium bank-bank
dengan jaminan pemerintah. Namun demikian
kesepakatan Letter of Intent tanggal 15 Januari 2000 menyepakati bahwa pemerintah
tidak akan menambah alokasi dana bare untuk KUT, sehingga praktis pola KUT
dihentikan pada akhir September 2000, atau akhir tahur, penyediaan 1999/2000
(dari Oktober 1999-september 2000).
Peningkatan penyediaan dana KUT
sub-sektor pertanian tanaman pangan yang sejak 1998 pada saat Indonesia mengalami krisis secara
komulatif mencapai RP. 9,753 triliun adalah di luar kebiasaan kapasitas serail
sektor pertanian. Oleh karma itu membludaknya penyediaan kredit murah dan mudah
ke pedesaan / pertanian telah menimbulkan moral
hazard,
sehingga kasus penyalahgunaan KUT terjadi secara meluas. Hal ini tidak terlepas
dari kondisi pada saat itu dimana kredit
komersial perbankan tidak tersedia, sehingga KUT menjadi satu-satunya sumber pembiayaan. Selanjutnya ketidakpastian akan
kelanjutan KUT dan kegagalan panen di beberapa daerah telah menimbulkan
tunggakan yang mernbengkak.
Sehubungan dengan adanya tunggakan KUT tersebut, maka pemerintah
telah mengambil kebijakan untuk melakukan restrukturisasi KUT. Kebijakan
tersebut dituangkan metaltui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Nomor : KEP 07.A/M.EKON/02/2001 tanggal 15 Pebruari 2001 tentang Kebijakan
Restrukturisasi Kredit Petani dan Reformasi Kcperasi. Kebijakan restrukturisasi
KUT tersebut pada intinya memuat
1.
Penghapusan
atas bunga tunggakan kredit 100%
2.
Penghapusan atas pokok tunggakan kredit berdasarkan
kriteria
v Petani gagal panen sebesar 50 %
v Petani dengan luas lahan kurang dari
0,5 % sebesar 50 %
v Petani dengan luas lahan antara 0,5-1
ha sebesar 35 %
v Petani lainnya dengan lahan lebih
dari 1 ha sebesar 25 %.
3. Masa
pembayaran diberikan secara bertahap pada setiap masa panen, paling lama 1
tahun
4. Pokok
selama masa pembayaran tidak dikenakan bunga
5.
Kebijakan restrukturisasi kredit
petani hanya dilakukan 1 kali untuk kredit yang tertunggak
per 31 Desember 2000 sesuai data bank pelaksana.
6. Berlaku
untuk tunggakan KUT yang bersih dari indikasi adanya irregularities.
Kebijakan restrukturisasi
KUT tersebut hingga saat ini belum dapat terlaksana karena belum tercapainya kesepakatan para penanggung
resiko yaitu Bank Indonesia dan pemerintah. Oleh karena itu muncul
usulan kebijakan barn yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah KUT. Masalah
ini memang harus diselesaikan dan nampaknya penyelesaiannya tidak terlepas dari
keharusan kita untuk memahami kedudukan dan sebab pembengkaan KUT.
2.10 Upaya Pengembangan Kredit Usaha Mikro,Keeil,dan
Menengah (UMKM)
oleh Bank Indonesia.
Pengembangan kredit Usaha Mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menurut
laporan perekonomian Indonesia Oleh Bank Indonesia diantaranya: Secara garis
Besar Peran Bank Indonesia dalam pengembangan UMKM dilakukan melalui tiga
pendekatan, yaitu:
1. Kebijakan
Kredit perbankan
2. Pengembangan
kelembagaan
3.
Pemberian
bantuan teknis
Keterbatan UMKM dalam memperoleh
pelayanan kepada sektor perbankan merupakan salah satu kendala belum
optimalnya fungsi intermediasi perbankan. Menyikapi hal tersebut, selama tahun laporan, upaya
yang ditempuh bank Indonesia dalam pengembangan UMKM lebih ditekankan pada
upaya peningkatan akses UMKM kepada sector perbankan. Melalul pendekatan kebijakan
kredit,upaya yang dilakukan Bank Indonesia antara lain dengan
sentiasa,mendorong bank Umum dan BPR Untuk meningkatkan penyaluran kredit UMKm sesuai dengan rencana bisnis masing-masing
bank dengan tetap memperhatikan prinsip kahati-hatian
Dalam rencana bisnis 2002, 14 bank Umum yang menguasai 80%
asset perbankan nasional (systemically important bank) dan BPR, menetapkan
rencana penyaluran kredit kepada sector UMKM
sebesar Rp 30,9 triliun. Dalam realisasinya dicapai jumlah Rp 35,9 triliun
atau 116 % dari target. Untuk 2003, rencana bisnis perbankan untuk penyaluran
kredit UMKm meningkat menjadi Rp 42,5 triliun, terdiri dari kredit usaha mikro
sebesar Rp 7,5 triliun ( 17,7%), kredit
usaha kecil Rp15,2 triliun (38,8%) dan kredit ke usaha menengah Rp 19,7
triliun (46,5%).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Posisi LKM dalam pemberdayaan UKM,
terutama usaha mikro sangat strategis karena 97% usaha kecil adalah usaha mikro
yang belum terjangkau pelayanan perbankan. Perkuatan LKM selain menyangkut dengan
lemahnya SDM juga tidak adanya jaringan yang memungkinkan tedadinya inter
lending. Disamping itu pengembangan UKM memeriuk-an kehadiran lembaga pendukung
agar posisi LKM, penabung dan peminjam terlindungi dari berbagai resiko.
Lembaga keuangan mikro dapat didudukkan sebagai energi pemberdayaan UKM,
terutama untuk pembentukan prows nilai tambah dan peningkatan taraf hidup
lapisan masyarakat bawah.
Pembangunan
perekonomian pedesaan masih menghadapi kendala terbatasnya modal para pelaku usahanya. LKM memiliki
potensi sebagai sumber pembiayaan masyarakat petani/pedesaan walaupun dari sisi
ketersediaaan dana tidak sebesar lembaga perbankan formal. Keunggulan LKM
terletak pada komitmen yang kuat dalam membe-rdayakcan usaha rrik-ro/kecit,
prosedur yang iebih fleksibel dan lokasinya yang dekat dengan clacrah pedesaan.
potensi yang cukup besar tersebut
belum dapat ditnanfaatkan secara optimal karena LKM masih menghadapi kendala
cian keterbatasan di antaranya kelernbagaan yang tumpang tindih, keterbatasan
SDM serta kecukupan modal. Sebagai upaya untuk menguatkan dan mengembangkan
eksistensi LKM di masa mendatang perlu dilakukan langkah-langkah strategis di
antaranya penuntasan Rancangan Undang-Undang (RUU) LKM serta kebijakan
pendukung lainnya.
3.2
Saran dan Kritik
Karena keterbatasan ilmu pengetahuan
dan pengalaman, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
membangun sehingga penulis dapat memperbaiki makalah ini dikemudian hari.
3.3 Daftar Pustaka
Ø Sadono Sukirno, 2010 teori pengantar
Mikroekonomi edisi ketiga. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Ø Kantor Meneg Koperasi dan UKM
Ø Bank Indonesia 2001
Ø http://id.wikipedia.org/wiki/Koperasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar