Kekhawatiran seputar terjadinya 'kematian massal' kesenian-kesenian tradisional pun menyeruak. Jika upaya rekonstruksi tidak secepatnya dilakukan, dipastikan kesenian tradisional Bali yang beberapa di antaranya difungsikan sebagai seni bebali dan wali (menjadi bagian penting dari ritual keagamaan - red) akan tinggal nama.
Kepala Bidang Kesenian dan Perfilman Dinas Kebudayaan (Disbud) Propinsi Bali I Made Santha, S.E., M.Si. mengakui barisan kesenian tradisional Bali yang terancam mati pelan-pelan lantaran gagal melahirkan generasi penerus teramat panjang. Dari ketiga rumpun kesenian yang dikenal di Bali (kesenian wali, bebali dan balih-balihan - red), kesenian wali dan bebali nasibnya paling mengenaskan. Paling tidak, sekitar 75 jenis kesenian wali dan lebih dari seratus kesenian bebali di Bali tidak pernah lagi terekam jejaknya lantaran intensitas pementasannya sangat jarang jika tidak mau disebut tak pernah lagi dipentaskan.
'Jika di Bali daratan kita mengenal tari Rejang Dewa sebagai tarian wali yang menyertai upacara di Pura-pura, di Nusa Penida, Klungkung kita mengenal adanya tari Rejang Renteng. Namun, Rejang Renteng hampir tidak pernah dipentaskan lagi sehingga statusnya bisa dikategorikan hampir punah,' katanya.
Nasib serupa juga menimpa tari Baris Jukung, Baris Kloping dan sejumlah varian tari Baris lainnya yang sempat berkembang di Kabupaten Bangli, terutama di kawasan Danau Batur. Saat ini Disbud Propinsi Bali tengah menginventarisasi kesenian wali, bebali dan balih-balihan di seluruh kabupaten/kota di Bali yang eksistensinya terancam punah.
Barisan Panjang
Pendapat senada juga dilontarkan Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. I Wayan Rai S, M.A. Dia mencontohkan, Legong Keraton yang tumbuh berkembang begitu subur sekitar abad ke-16 silam, paling tidak memiliki 20 jenis varian. Setiap daerah/kerajaan saling berpacu menghasilkan garapan seni yang mengentalkan kekhasannya masing-masing.
Ada tari Legong Semara Dahana, Bapang Saba, Jobog, Kuntir, Pelayon, Goak Macok, Kuntul, Ngalap Base dan sebagainya. Sayang, tarian-tarian istana itu tak kuasa dipertahankan daya pikatnya. Dari zaman ke zaman, pesonanya makin meredup. 'Saat ini, dari puluhan varian tari Legong Keraton itu praktis hanya tari Legong Keraton Lasem yang tetap evergreen atau masih rutin dipentaskan. Sementara tarian lainnya sangat jarang dipentaskan,' katanya. Jika langkah-langkah rekonstruksi tidak segera dilakukan niscaya kesenian tradisional-klasik Bali itu tinggal kenangan.
Menurut Rai, tari Legong Keraton dengan berbagai variannya bukan satu-satunya jenis kesenian tradisional Bali yang terancam punah. Seni pertunjukan Tetantrian yang berbentuk drama tari (sejenis prembon - red) dengan menggabungkan beberapa jenis tarian Bali lainnya dan mengambil sumber lakon dari karya sastra Tantri juga tak lagi akrab dengan generasi muda Bali. Nasib serupa juga menimpa tari Leko yang memiliki unsur-unsur Pelegongan baik dari gerak, cerita, tata busana dan instrumen pengiring.
Lantas, kenapa kesenian-kesenian tradisional Bali itu tidak mampu mempertahankan eksistensinya di jagat seni Bali? Menurut Rai, penyebab utamanya adalah kegagalan proses regenerasi. Karena gagal mencetak generasi pewaris, usia kesenian pun hanya sebatas usia pelaku kesenian itu. Begitu senimannya meninggal dunia, maka lenyap pula kesenian itu.
Proses Rekonstruksi
Untuk membangkitkan kembali kesenian-kesenian tradisional yang sudah lama tak kedengaran kabar beritanya, tidak ada jalan lain yang bisa dilakukan selain melakukan rekonstruksi. Sayang, proses rekonstruksi ini tidak selamanya berjalan mulus. Seringkali, seniman-seniman yang pernah jadi pelaku aktif kesenian itu seluruhnya sudah meninggal dunia sehingga pihak-pihak yang melaksanakan aktivitas rekonstruksi itu kehilangan pijakan. Kehilangan sumber referensi utama sebagai titik awal untuk memulai pekerjaan. Sementara di pihak lain, seniman-seniman Bali di masa lampau sangat jarang mendokumentasikan karya-karyanya. 'Keterbatasan referensi itu seringkali menjadi batu sandungan terbesar setiap kali upaya rekonstruksi dilakukan. Lain persoalan jika senimannya masih ada, kita bisa merekonstruksi karya itu berdasarkan ingatan dari seniman tersebut,' ujarnya.
Pentingnya rekonstruksi juga dilontarkan Kepala Disbud Propinsi Bali Drs. I Nyoman Nikayana, M.M. Dikatakan, pihaknya juga aktif melakukan rekonstruksi terhadap kesenian-kesenian yang sudah lama tidak pernah dipentaskan lagi. Salah satunya, tari Telek di Desa Perean, Tabanan yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Kupu-kupu Tarum. Saat ini, hasil rekonstruksi itu kembali dipentaskan secara rutin di desa setempat ketika Ida Sesuhunan masolah. Kata dia, pada tahun anggaran 2008 ini Pemprop Bali mengucurkan dana Rp 250 juta guna merekonstruksi dan merevitalisasi 18 jenis kesenian langka yang keberadaannya terancam punah.
Nilai Luhur
Nikanaya menegaskan, rekonstruksi dalam bidang seni sangat penting. Melalui rekonstruksi ini, katanya, kita bisa membangkitkan jenis-jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang di masa lampau serta mengetahui nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Selain itu, aktivitas rekonstruksi itu juga bisa dijadikan media yang sangat representatif untuk membandingkan karya-karya seni di masa lampau dengan karya-karya seni di masa kini, sekaligus memacu kreativitas untuk memunculkan karya-karya yang lebih berkualitas di masa depan.
Nikanaya dan Rai mengatakan, esensi dari aktivitas rekonstruksi adalah membangkitkan kembali kesenian yang berada di ambang kepunahan maupun sudah punah. Dengan kata lain, kegiatan ini mengusung misi pelestarian di mana nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian itu harus tetap terjaga dan tumbuh berkembang di masyarakat. Karenanya, kesenian hasil rekonstruksi itu wajib dikembalikan kepada masyarakat selaku pemilik kesenian itu. Selanjutnya, masyarakat sendiri yang akan menjaga dan mengembangkan kesenian itu. (ian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar