KATA PENGANTAR
“Om
Swastyastu”
Dengan
memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha esa (Ida Sang Hyang Widhi
Wasa) atas berkatNya karena atas berkat rahmatnyalah penulis
dapat menyelesaikan tugas ini yang berjudul “Pancasila dan Nasionalisme”
selesai tepat pada waktunya.
Tentu saja dalam penyelesaian paper
ini selaku penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu sehingga paper ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.
Dengan menyadari bahwa paper
ini masih terdapat kekurangan baik dari segi isi, materi dan penyajian, maka penulis sangat mengharapkan saran serta kritik
yang bersifat membangun sehingga praktek kerja industri kami selanjutnya
bisa lebih baik lagi.
Maka
akhir kata penulis berharap semoga laporan pratek kerja ini dapat bermanfaat
dan berguna.
“Om
Shantih, Shantih, shantih Om”
Gianyar,
18 Februari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3
Tujuan dan Manfaat Penulisan.......................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Pancasila............................................................................................ 3
2.2
Nasionalisme...................................................................................... 8
2.3
Nasionalisme Pancasila.................................................................... 13
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan...................................................................................... 19
3.2
Saran-saran...................................................................................... 20
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam
peradaban manusia, tidak terlepas dari perbuatan yang menciptakan hukum dan peraturan.
Perbuatan tersebut sangat berguna dalam peraturan dan tingkah laku manusia
sehari-hari. Hal inilah yang membuat seorang manusia akan berarti dalam
kehidupannya. Perbuatan yang menciptakan hukum ini, memerlukan sebuah lembaga
atau tempat untuk menciptakan hal itu.
Tempat
dan lembaga tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan disebut daerah. Secara
mendasar daerah inilah yang memerlukan akan hukum dan perbuatan hukum. Apabila
kedua hal tersebut ada didalam daerah itu, maka daerah tersebut akan teratur
dan tentram.
Lalu
disisi lain suatu daerah memerlukan sebuah pengikat masyarakat dalam pemersatu
satu kesatuan. Hal inilah yang membuat sebuah daerah yang mempunyai hukum yang
jelas memerlukan sebuah alat pemersatu yang membuat bagi daerah tersebut agar
tidak terjadi perpecahan.
Daerah
yang memerlukan hal seperti itu adalah negara, sedangkan terhadap alat yang
diperlukan untuk memersatukan bangsa serta keutuhan negara adalah nasionalisme.
Secara
umum nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu alat pemersatu yang membuat
bangsa serta suatu negara lebih kuat serta solid dalam menghadapi tekanan serta
penjajahan yang terjadi dan rongrongan untuk memecah belah negara tersebut. Di
Indonesia untuk mempersatu bangsa serta keutuhan Negara mempunyai nasionalisme
dan pancasila.
Dari
latar belakang diatas, maka penulis ingin mengangkat tema tentang Pancasila dan
Nasionalisme.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan difinisi diatas penulis
mencoba merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang di maksud dengan Pancasila?
2.
Apa yang di maksud dengan Nasionalisme?
2.
Apa yang di maksud dengan Nasionalisme Pancasila?
1.3
Tujuan
dan Manfaat Penulisan
Tujuan
dan manfaat dari penulisan paper ini selain untuk memenuhi tugas juga untuk
mengetahui apa saja yang dimaksud nasionalisme dan pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pancasila
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini
terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla
berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4
Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
2.1.1 Sejarah Perumusan
Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi,
terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu : Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei
1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri
Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia
menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah,
peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di
Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato
Yamin tersebut.
Panca Sila
oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni
1945. Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme;
Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan.
Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni
itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma,
tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa -
namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar
itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi
beberapa dokumen penetapannya ialah :
·
Rumusan
Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
·
Rumusan
Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27
Desember 1949
·
Rumusan
Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus
1950
·
Rumusan
Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
2.1.2 Hari Kesaktian Pancasila
Pada tanggal 30 September 1965, adalah
awal dari Gerakan 30 September (G30SPKI). Pemberontakan ini
merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis. Hari
itu, enam Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta.
Namun berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut
mengalami kegagalan. Maka 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September[ [G30S-PKI] ] dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai
Hari Kesaktian Pancasila, memperingati bahwa dasar Indonesia, Pancasila, adalah
sakti, tak tergantikan.
2.1.3 Butir-Butir Pengamalan Pancasila
Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan
kelima asas dalam Pancasila menjadi 45 butir pengamalan sebagai pedoman praktis
bagi pelaksanaan Pancasila. Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah
butir-butir ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
Ø Sila pertama (Bintang)
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Ø Sila kedua (Rantai)
- Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
- Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
- Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
- Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
- Berani membela kebenaran dan keadilan.
- Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Ø Sila ketiga (Pohon Beringin)
- Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
- Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
- Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
- Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
- Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
- Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Ø Sila keempat (Kepala Banteng)
- Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
- Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
- Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
- Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
- Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
- Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
- Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
- Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
Ø Sila kelima (Padi dan Kapas)
- Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
- Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
- Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Menghormati hak orang lain.
- Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
- Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
- Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
- Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
- Suka bekerja keras.
- Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
- Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
2.2 Nasionalisme
2.2.1 Nasionalisme secara Umum
Dalam
perkembangan perdaban manusia, interaksi sesama manusia berubah menjadi bentuk
yang lebih kompleks dan rumit. Dimulai dari tumbuhnya kesadaran untuk
menentukan nasib sendiri dikalangan bangsa-bangsa yang tertindas kolonialisme
dunia. Seperti Indonesia salah satunya, hingga melahirkan sebuah semangat untuk
mandiri dan bebas menentukan masa depannya sendiri.
Mengacu
pada awal tumbuhnya nasionalisme secara umum maka makna nasionalisme dapat
dikatakan sebagai sebuah institusi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara
total diabadikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa.
Munculnya nasionalisme ini terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan
bersama merebut sebuah kemerdekaan dari tangan penjajah.
Para
pengikut nasinolisme ini berkeyakinan bahwa persamaan cita-cita yang mereka
miliki dapat diwujudkan dalam sebuah identitas politik atau kepentingan bersama
dalam bentuk sebuah wadah yang disebut bangsa (nation). Dengan demikian
bangsa atau negara merupakan suatu badan atau wadah yang didalamnya terhimpun
orang-orang yang memiliki persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka
miliki.
Lahirnya
negara bangsa (nation state) merupakan akibat langsung dari gerakan
nasionalisme yang sekaligus telah melahirkan perbedaan pengertian tentang
kewarganegaraan dari masa sebelum kemerdekaan.
Dan
dapat kita katakan bahwa nasionalisme adalah sebuah ikatan emosi yang membentuk
perasaan komunitas suatu bangsa dan negara. Dan nasionalisme ini sangat
berkaitan dengan kata Patriotisme yang membentuk sebuah pencitraan yang baik
dalam pemampilan dan pembentukan sebuah kesatuan negara.
2.2.2 Nasionalisme Indonesia
Latar
belakang timbulnya paham nasionalisme atau paham kebangsaan Indonesia tidak
terlepas dari situasi perpolitikan yang pernah terjadi di Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dar decade awal abad ke-20 yang pada waktu itu semangat menentang
kolonialisme Belanda mulai bermunculan dikalangan pribumi.
Secara
garis besar terdapat tiga pemikiran yang membentuk nasionalisme Indonesia yang
terjadi pada masa sebelum kemerdekaan yakni paham ke-Islam-an, Marxisme dan
nasionalisme Indonesia.
Para
analis, mengatakan bahwa Islam dalam ajarannya sangat berpengaruh terhadap
pembentukan nasionalisme yang ada di alam Indonesia ini. Seperti di ungkapkan
oleh salah seorang pengkaji nasionalisme Indonesia George Mc. Turman.
Mengatakan bahwa Islam yang disebutnya dengan sebuah istilah agama Muhammad,
yang bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, melainkan
juga merupakan simbol persamaan nasib menentang penjajahan asing dan penindasan
yang berasal dari agana lain.
Akan
tetapi apa yang dikatakan Turman berbeda dengan konsep ajaran Islam yang
sebenarnya, yaitu bahwa Islam adalah agama yang cinta damai dan tidak pernah
menentang agama lain untuk “bersahabat” dengan agama Islam. Kalaupun Islam akan
“menjajah” agama lain, hal itu disebabkan oleh adanya perlawanan dari agama
lain tersebut terhadap komunitas agama Islam yang ada.
Dan
juga dalam pandangan Islam nasionalisme adalah sebuah bentuk perasaan untuk memupuk
rasa memiliki bersama dalam suatu bangsa. Berlandaskan pada rasa tanggung jawab
terhadap negara untuk kesejahteraan bangsa dan negara buat semua golongan yang
ada didalam negara tersebut.
Lalu
ada paham Marxisme yang berkembang dalam peradaban bangsa Indonesia ini, paham
ini pada mulanya berkembang bukan pada anak pribumi, melainkan pada
gerakan-gerakan kebangsaan di Eropa yang kemudian dibawa oleh para pejuang
kemerdekaan Eropa ke Indonesia pada tahun 1912 yang menyerukan kesetaraan ras,
keadilan sosial, dan ekonomi serta kemerdekaan yang didasarkan pada kerjasama
dengan bangsa Eropa.
Saat
paham ini masuk ke Indonesia, lalu kolonialisme Belanda akhirnya geram akan
gerakan-gerakan yang ditimbulkan oleh gerakan Marxisme ini. Lalu bangsa Belanda
akhirnya melakukan tindakan-tindakan keras terhadap aktifis organisasi
tersebut.
Konsep
yang selanjutnya adalah paham nasionalisme Soekarno yang dalam prakteknya
banyak menggunakan paham komunis serta terlalu kearah fasisme (nasionalisme sempit),
oleh karena itu paham nasionalisme yang di kembangkan oleh Soekarno banyak yang
menentangnya. Walaupun ada satu sisi positif yang muncul dari paham ini yaitu
Soekarno menginginkan akan adanya penyatuan yang semua komponen yang ada di
negara Indonesia untuk bersatu melawan para penjajah yang ada. Walau demikian
sepatutnya kita tetap menghargai akan pengobanan seorang Seokarno dalam rangka
penyatuan anak-anak negeri ini.
2.2.3 Bentuk-Bentuk Nasionalisme
Ada
beberapa bentuk nasionalisme yang ada, antara lain:
1.
Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil)
adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari
penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan
politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal
adalah buku berjudulk Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa
Indonesia
"Mengenai Kontrak Sosial").
2.
Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana
negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah
masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk
(bahasa Jerman untuk "rakyat").
3.
Nasionalisme Romantik (juga disebut nasionalisme organik,
nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana
negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi
("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan
budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka
untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang
dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
4.
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana
negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya
"sifat keturunan" seperti warna kulit, ras
dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah
berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih
dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti
Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis
Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRT karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.
5.
Nasionalisme Kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan
nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih
keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu
selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national
state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang
lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang
lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme
masyarakat Belgia,
yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights)
dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila mana
nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada
kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan
penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara
pemerintahan pusat yang kuat di Sepanyol dan Perancis dengan nasionalisme
Basque, Catalan, dan Corsica.
6.
Nasionalisme Agama ialah sejenis nasionalisme dimana
negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu,
lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme
keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka
yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh
pengikut partai BJP
bersumber dari agama Hindu.
Akan
tetapi dalam bangsa Indonesia, bangsa Indonesia lain dari yang lain yaitu
nasionalisme Pancasila. Pengertian nasionalisme Pancasila ini antara lain:
Pada
prinsipnya nasionalisme Pancasila adalah pandangan atau paham kecintaan manusia
Indonesia terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang
diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa:
- Menempatkan persatuan – kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan;
- Menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara;
- Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri;
- Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa;
- Menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia;
- Mengembangkan sikap tenggang rasa;
- Tidak semena-mena terhadap orang lain;
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan;
- Senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan;
- Berani membela kebenaran dan keadilan;
- Merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia; dan
- Menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Apabila
kita lihat dari semua pengertian diatas, maka paham nasionalisme Pancasila lah
yang bisa dan sesuai dengan kultur bangsa Indonesia ini yang akan bisa membuat
bangsa Indonesia ini maju serta sejahtera.
2.3 Nasionalisme Pancasila
Secara nyata dapat dilihat
bila berbicara Pancasila sebagai dasar negera, maka yang terjadi seharusnya
adalah bagaimana negara ini berusaha dengan berbagai upaya untuk menegakkan
masyarakat yang berketuhanan, adil dan bermoral, mempunyai jiwa ukhuwah (persaudaraan)
atau kebersamaan, demokrasi, dan menciptakan kemakmuran masyarakat sesuai
dengan cita-cita para pendiri bangsa ini. Pertanyaanya sudahkah semua itu
terlaksana, atau adakah usaha penegakan terhadap terlaksananya nilai-nilai
Pancasila dengan sebenar-benarnya. Atau, bahkan sebaliknya banyak kalangan baik
itu para pejabat atau masyarakat secara umum menjadi orang yang “munafik” dan
berprilaku tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa ini, yaitu menjadi
manusia yang mengingkari Pancasila.
Jadi, sudah menjadi suatu
keharusan apabila bangunan nasionalisme yang ditegakkan, baik sekarang maupun
ke depan sampai waktu yang tidak terbatas, adalah tetap berpegang pada
nilai-nilai nasionalisme yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa ini.
Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa jika menengok ke belakang, nasionalisme
yang digunakan sebagai alat pemersatu oleh para pendiri bangsa ini adalah
nasionalisme yang mentauladani sifat-sifat Tuhan, cinta akan kedilan, egaliter,
dan menghargai hak asasi manusia. Inilah bentuk perwujudan dari nilai-nilai
Pancasila. Sekarang, sebagai kritik apa yang telah dilakukan oleh masyarakat
bangsa ini, perlu dilihat apakah pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila sudah tercapai. Oleh karena itu, sekedar pengingat tampaknya perlu
diulas kembali makna sila-sila yang ada dalam Pancasila.
Pertama, jika
mengkaji makna dari sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila ini menunjukkan bahwa
apa yang berlaku di negara ini, baik yang mengenai kenegaraan, kemasyarakatan
maupun perorangan harus sesuai dengan sifat-sifat Tuhan yang tak terbatas,
misalnya Maha Besar, Maha Agung, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha
Mengetahui, Maha Mendengan, dan sebagainya. Azhar Basyir menyebutkan bahwa sila
ini merupakan dasar keruhanian, dasar moral bagi masyarakat Indonesia dalam
melaksanakan hidup bernegara dan bermasyarakat. Misalnya, dalam kehidupan
bernegara berarti dalam penyelenggaraannya wajib menghargai, memperhatikan, dan
menghormati petunjuk-petunjuk Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak boleh
menyimpangnya. Jadi jelas bahwa sila ini dapat menjadi dasar untuk memimpin ke
jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan sebagaimana
sifat-sifat yang dimiliki Tuhan.
Kedua, sila
“Kemanusia Yang Adil dan Beradab” dapat diartikan bahwa bagaimana dengan sila
ini masyarakat bangsa Indonesia menjadi manusia yang berpegang pada nilai adil
dan berakhlak mulia. Ciri manusia yang adil dan beradab dapat ditunjukkan dalam
perbuatan yang tidak hanya mementingkan kehidupan jasmaniyah dan lahiriyah
saja, melainkan juga kehidupan rokhani. Demikian pula, yang diutamakan bukan
hanya yang menyangkut kepentingan diri pribadi, akan tetapi juga kepentingan
masyarakat. Jelas bahwa sila ini menunjukkan bahwa para pendiri bangsa ini
menginginkan di Indonesia ini tegak atau dijunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, seperti persamaan, keadilan, tenggang rasa, mencintai sesama,
kesetiakawanan, dan kemanusiaan. Ketiga, dari sila “Persatuan Indonesia”
tampak bahwa para pendiri bangsa ini sadar bahwa tanpa persatuan dan kesatuan
langkah, maka tujuan bersama, yang pada waktu itu dijadikan alat untuk
melepaskan dari dari cengkraman kolonialisme, tidak akan terwujud. Mereka juga
sadar bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dan plural,
yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai pulau, suku, bahasa, agama, dan
kepercayaan. Sunatullah yang dalam hal ini berarti bahwa keberadaan manusia di
muka bumi ini adalah plural, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa yang tidak
dapat ditolak keberadaanya telah disadari oleh mereka. Dengan demikian, agar
terwujud bangsa yang mandiri dan mempunyai harga diri maka harus tercipta ukhuwah
dan persatuan tanpa memandang suku atau keyakinan apa yang dianutnya.
Keempat, dapat
dikemukakan bahwa kandungan sila “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” ini menunjuk pada keharusan
adanya kerakyatan atau demokrasi yang tentunya memperhatikan dan menghormati
nilai ketuhanan dan agama. Kerakyatan atau demokrasi semacam ini berarti dalam
menyelenggarakan kehidupan bernegara harus dilakukan dengan cara bermusyawarah
yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Misalnya, dalam
agama Islam sendiri menganjurkan agar selalu bermusyawarah untuk memecahkan apa
pun permasalahannya.
Kelima, sila
“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” pada umumnya dapat diartikan
bahwa setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang
memperoleh bagian yang sama dari kekayaan kita bersama. jadi, membangun
keadilan sosial berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan
terlaksananya keadilan. Jelas, bahwa konsekuensi yang harus dijalankan adalah
kepentingan individu dan kepentingan umum harus dalam suatu keseimbangan yang
dinamis, yang harus sesuai dengan keadaan, waktu, dan perkembangan zaman. Dalam
prakteknya, keadilan sosial tercapai apabila dapat memelihara kepentingan umum
negara sebagai negara, kepentingan umum para warga negara bersama, kepentingan
bersama dan kepentingan khusus dari para warga negara secara perseorangan, suku
bangsa, dan setiap golongan warga negara.
Mengkaji nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, maka akan tampak amatlah mulya apabila nilai-nilai
tersebut dijadikan pegangan bagi manusia sebagai khalifah fi al-ard pada
umumnya, dan khususnya bagi masyarakat Indonesia. Jika dikaji, Pancasila memang
mengandung nilai-nilai universal, yaitu kebenaran umum. Hal ini menandakan
bahwa pengkonsep Pancasila adalah para manusia yang cerdas, manusia mengerti
ruang batin masyarakat Indonesia, manusia yang mau belajar dari sejarah, dan
sekaligus menjadi aktor perubahan dalam sejarah. Oleh karena itu, alangkah
tepatnya apabila nasionalisme yang semestinya dipegang oleh masyarakat
Indonesia adalah cinta tanah air yang selalu berpegang pada nilai-nilai
Pancasila.
Dalam hal ini, nilai-nilai
Pancasila harus benar-benar dijadikan spirit moralisme untuk merekonstruksi
desain negara bangsa yang penuh keadaban dan bermartabat. Tampaknya, skarang
ini konsep nasionalisme harus segera direka ulang sesuai dengan karakteristik
kebangsaan Indonesia mutakhir dengan tetap berpegang pada nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Desain isi nasionalisme Indonesia harus dimaknai
bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang menolak segala bentuk
diskriminasi, kedholiman, penjajahan, penindasan, ketidakadilan, serta
pengingkaran atas nilai-nilai ketuhanan, sebagaimana yang terkandung dalam
Pancasila.
Sekarang, yang perlu
dikaji ulang adalah bagaimana dengan nasionalisme bangsa ini, yang mencakup baik
para pejabat yang diberi amanat untuk menjalankan roda pemerintahan, DPR, Jaksa
Agung, hakim, polisi, para intelektual dan birokrat kampus, dan lainnya. Apakah
perilaku mereka sudah mencerminkan berjiwa Pancasila. Sudahkah perilaku mereka
semua telah sejalan dengan amanat yang tercantum dalam dasar negara, yaitu
Pancasila. Tentu saja, jika semua komponen bangsa ini memegang nasionalisme
Pancasila sebagai landasan untuk membangun bangsa ini, maka tidak seharusnya
terjadi, apa yang disebut dengan kemiskinan, dikriminasi, korupsi, penjualan
aset negara, ilegal loging, dan ketidakadilan.
Tampaknya komponen bangsa
ini memang belum sepenuhnya menjalankan atau menganut paham nasionalisme yang
berlandaskan Pancasila. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam bidang ekonomi para
pemegang kebijakan belum menjalankan apa yang diamanatkan Pancasila, karena
belum tercipta apa yang disebut dengan “ekonomi keadilan”. Semestinya, untuk
menciptakan keadilan dan menghilangkan kemiskinan atau paling tidak
menguranginya, maka pemegang kebijakan ekonomi bangsa ini harus menjalankan,
sebagaimana disinggung Murbyanto, yaitu prinsip ekonomi koperasi dan ekonomi
etik. Karena, diketahui bahwa ekonomi koperasi, berbeda dengan ekonomi ortodok,
yaitu ekonomi yang mengajarkan cara-cara bekerja sama bukan cara-cara bersaing.
Di sisi lain, jika ekonomi etik yang dipegang, maka keserakahan akan alam benda
tidak akan terjadi. Dalam hal ini, jika ekonomi koperasi mengajarkan cara-cara
manusia bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan dengan sebaik-baiknya, maka
ekonomi etik mengajarkan perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan etikanya
dengan berpedoman pada ajaran-ajaran moral agama. ]
Demikian pula, jika
nasionalisme Pancasila yang dijadikan pegangan, maka ilegal loging, baik
di Sumatra (Riau) maupun di Irian Jaya tidak akan terjadi. Karena, jelas bahwa
hal semacam itu tidak hanya merusak hutan, akan tetapi para pelaku adalah
tergolong orang-orang yang mementingkan diri sendiri dan merugikan seluruh
masyarakat Indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh Sekjen Lembaga Pengkajian
Hutan Indonesia (LPHI) Riau, Andreas Herry Kahuripan, kepada Metro Riau,
Selasa, 24 Januari 2006, di Pekanbaru, bahwa ilegal loging di Riau sudah
seperti pelacur. Kendati sudah mulai di berantas sejak tahun 1990 lalu, namun
hingga kini belum menunjukkan hasil memuaskan. Tampaknya kesulitan dalam rangka
penghentian tindakan penebangan kayu liar ini, karena pada dasarnya para
pejabat negeri inilah yang melakukannya.
Banyak kasus lain yang
dapat diungkapkan dan merupakan tindakan tidak Pancasilais. Misalnya, tindakan
penjualan aset Indosat ke Singapura, atau menjual kekayaan negara ke
negara-negara maju, seperti dalam kasus Blok Cepu dan masalah Freeport. Dalam
kasus semacam ini, kekayaan negara dikeruk dan dikelola oleh mereka, sementara
dalam kenyataannya bangsa ini hanya kebagian sedikit saja. Dengan demikian,
sebagaimana dikatakan, bangsa ini yang sebenarnya sebagai pemilik lautan
"dolar", hanya bisa puas kebagian ampasnya. Orang lain
bermewah-mewahan dari hasil penjualan aset kita, sementara rakyat kita hanya
bisa melihatnya sambil gigit jari.
Demikian pula, korupsi
yang merupakan simbol ketidakadilan seharusnya dapat dihentikan dan bahkan
berhenti dengan sendirinya apabila manusia Indonesia ini sadar bahwa Pancasila
dasar adalah moral yang harus dipegangi. Mengapa penyakit yang satu ini tampak
sulit untuk disembuhkan, dan bahkan sekarang ini menu korupsi seakan menjadi
sajian berita yang tiada henti. Orde Reformasi yang diharapkan dapat
mengoreksi, justru semakin melembagakan praktik culas elite penguasa. Perilaku
korupsi bahkan telah menjamah di semua level instansi pemerintahan bangsa ini.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Dari
penjelasan diatas dapat terlihat bahwa nasionalisme adalah sebuah identitas
yang sangat penting dalam sebuah negara, karena tanpa kekuatan nasionalisme
negara tidak akan bisa lagi memainkan peranannya sebagai sebuah institusi
tertinggi yang mewadahi rakyatnya.
Selain
itu juga ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya
mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri
mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan
negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri.
Maka
dari itu semua, sewajarnyalah kita sebagai anak negeri untuk dapat menumbuh
kembangkan rasa nasionalisme yang ada dalam diri kita selanjutnya kepada semua
orang dekat kita.
Semoga
kita dapat mempertahankan akan kesatuan dan kebangsaan Indonesia yang sudah
terjalin ini, dan dapat menjadi negara dan bangsa yang maju dan besar.
Dapat ditegaskan bahwa apabila belajar dari sejarah
yang pernah terjadi, nasionalisme Indonesia adalah bentuk perwujudan dari sikap
dan tindakan yang anti terhadap praktek-praktek kolonialisme. Dengan demikian,
nasionalisme Indonesia merupakan suatu bangunan suatu negara yang dibentuk berdasarkan
anti penjajahan, penindasan, diskriminasi, kedholiman, ketidakadilan, serta
pengingkaran atas nilai-nilai ketuhanan. Tentru saja, apabila masyarakat
Indonesia atau person berprilaku dan bertindak dengan sikap-sikap sebagaimana
disebutkan tentu saja mereka bukanlah manusia
3.2 Saran
Paper
tentang Pancasila dan Nasionalisme sebagai dasar persatu dari Negara masih
jarang orang memahaminya. Semoga dengan adanya paper ini dapat mendorong penulis
lain yang berkaitan dengan Pancasila dan Nasionalisme sehingga lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Wahdi, Sayuti, dkk. 2004. Pendidikan Kewargaan. Jakarta:
Prenada Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar