Rabu, 30 Mei 2012

paper TUGAS SENI PERTUNJUKAN INDONESIA “PAKEM KRESNA DUTA (DALANG NI WAYAN NONDRI)”


KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”
            Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atas berkatNya karena atas berkat rahmatnyalah penulis dapat menyelesaikan tugas ini yang berjudul “Pancasila dan Nasionalisme” selesai tepat pada waktunya.
            Tentu saja dalam penyelesaian paper ini selaku penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu sehingga paper ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.
            Dengan menyadari bahwa paper ini masih terdapat kekurangan baik dari segi isi, materi dan penyajian, maka penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang bersifat membangun sehingga praktek kerja industri kami selanjutnya bisa lebih baik lagi.
Maka akhir kata penulis berharap semoga laporan pratek kerja ini dapat bermanfaat dan berguna.

“Om Shantih, Shantih, shantih Om”

Gianyar, 18 Februari 2011
Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

BAB I      PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan.......................................................... 2
BAB II    PEMBAHASAN
2.1 Pancasila............................................................................................ 3
2.2 Nasionalisme...................................................................................... 8
2.3 Nasionalisme Pancasila.................................................................... 13
BAB III   PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................... 19
3.2 Saran-saran...................................................................................... 20
Daftar Pustaka
 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Dalam peradaban manusia, tidak terlepas dari perbuatan yang menciptakan hukum dan peraturan. Perbuatan tersebut sangat berguna dalam peraturan dan tingkah laku manusia sehari-hari. Hal inilah yang membuat seorang manusia akan berarti dalam kehidupannya. Perbuatan yang menciptakan hukum ini, memerlukan sebuah lembaga atau tempat untuk menciptakan hal itu.
Tempat dan lembaga tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan disebut daerah. Secara mendasar daerah inilah yang memerlukan akan hukum dan perbuatan hukum. Apabila kedua hal tersebut ada didalam daerah itu, maka daerah tersebut akan teratur dan tentram.
Lalu disisi lain suatu daerah memerlukan sebuah pengikat masyarakat dalam pemersatu satu kesatuan. Hal inilah yang membuat sebuah daerah yang mempunyai hukum yang jelas memerlukan sebuah alat pemersatu yang membuat bagi daerah tersebut agar tidak terjadi perpecahan.
Daerah yang memerlukan hal seperti itu adalah negara, sedangkan terhadap alat yang diperlukan untuk memersatukan bangsa serta keutuhan negara adalah nasionalisme.
Secara umum nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu alat pemersatu yang membuat bangsa serta suatu negara lebih kuat serta solid dalam menghadapi tekanan serta penjajahan yang terjadi dan rongrongan untuk memecah belah negara tersebut. Di Indonesia untuk mempersatu bangsa serta keutuhan Negara mempunyai nasionalisme dan pancasila.
Dari latar belakang diatas, maka penulis ingin mengangkat tema tentang Pancasila dan Nasionalisme.


1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan difinisi diatas penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut:
1.  Apa yang di maksud dengan Pancasila?
2.  Apa yang di maksud dengan Nasionalisme?
2.  Apa yang di maksud dengan Nasionalisme Pancasila?

1.3    Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dan manfaat dari penulisan paper ini selain untuk memenuhi tugas juga untuk mengetahui apa saja yang dimaksud nasionalisme dan pancasila.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pancasila
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.

2.1.1 Sejarah Perumusan

Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu : Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.
Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945. Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :
·         Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945
·         Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
·         Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949
·         Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950
·         Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

2.1.2 Hari Kesaktian Pancasila

Pada tanggal 30 September 1965, adalah awal dari Gerakan 30 September (G30SPKI). Pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis. Hari itu, enam Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan. Maka 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September[ [G30S-PKI] ] dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, memperingati bahwa dasar Indonesia, Pancasila, adalah sakti, tak tergantikan.

2.1.3 Butir-Butir Pengamalan Pancasila

Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 45 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.

Ø  Sila pertama (Bintang)

  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Ø  Sila kedua (Rantai)

  1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
  3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
  4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
  5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
  6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
  10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

Ø  Sila ketiga (Pohon Beringin)

  1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
  3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
  4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
  5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
  7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Ø  Sila keempat (Kepala Banteng)

  1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
  2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
  5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
  6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
  7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
  10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.

Ø  Sila kelima (Padi dan Kapas)

  1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
  2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
  6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
  8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
  9. Suka bekerja keras.
  10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
  11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
2.2  Nasionalisme
2.2.1 Nasionalisme secara Umum
Dalam perkembangan perdaban manusia, interaksi sesama manusia berubah menjadi bentuk yang lebih kompleks dan rumit. Dimulai dari tumbuhnya kesadaran untuk menentukan nasib sendiri dikalangan bangsa-bangsa yang tertindas kolonialisme dunia. Seperti Indonesia salah satunya, hingga melahirkan sebuah semangat untuk mandiri dan bebas menentukan masa depannya sendiri.
Mengacu pada awal tumbuhnya nasionalisme secara umum maka makna nasionalisme dapat dikatakan sebagai sebuah institusi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabadikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa. Munculnya nasionalisme ini terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut sebuah kemerdekaan dari tangan penjajah.
Para pengikut nasinolisme ini berkeyakinan bahwa persamaan cita-cita yang mereka miliki dapat diwujudkan dalam sebuah identitas politik atau kepentingan bersama dalam bentuk sebuah wadah yang disebut bangsa (nation). Dengan demikian bangsa atau negara merupakan suatu badan atau wadah yang didalamnya terhimpun orang-orang yang memiliki persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki.
Lahirnya negara bangsa (nation state) merupakan akibat langsung dari gerakan nasionalisme yang sekaligus telah melahirkan perbedaan pengertian tentang kewarganegaraan dari masa sebelum kemerdekaan.
Dan dapat kita katakan bahwa nasionalisme adalah sebuah ikatan emosi yang membentuk perasaan komunitas suatu bangsa dan negara. Dan nasionalisme ini sangat berkaitan dengan kata Patriotisme yang membentuk sebuah pencitraan yang baik dalam pemampilan dan pembentukan sebuah kesatuan negara.

2.2.2 Nasionalisme Indonesia
Latar belakang timbulnya paham nasionalisme atau paham kebangsaan Indonesia tidak terlepas dari situasi perpolitikan yang pernah terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dar decade awal abad ke-20 yang pada waktu itu semangat menentang kolonialisme Belanda mulai bermunculan dikalangan pribumi.
Secara garis besar terdapat tiga pemikiran yang membentuk nasionalisme Indonesia yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan yakni paham ke-Islam-an, Marxisme dan nasionalisme Indonesia.
Para analis, mengatakan bahwa Islam dalam ajarannya sangat berpengaruh terhadap pembentukan nasionalisme yang ada di alam Indonesia ini. Seperti di ungkapkan oleh salah seorang pengkaji nasionalisme Indonesia George Mc. Turman. Mengatakan bahwa Islam yang disebutnya dengan sebuah istilah agama Muhammad, yang bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, melainkan juga merupakan simbol persamaan nasib menentang penjajahan asing dan penindasan yang berasal dari agana lain.
Akan tetapi apa yang dikatakan Turman berbeda dengan konsep ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu bahwa Islam adalah agama yang cinta damai dan tidak pernah menentang agama lain untuk “bersahabat” dengan agama Islam. Kalaupun Islam akan “menjajah” agama lain, hal itu disebabkan oleh adanya perlawanan dari agama lain tersebut terhadap komunitas agama Islam yang ada.
Dan juga dalam pandangan Islam nasionalisme adalah sebuah bentuk perasaan untuk memupuk rasa memiliki bersama dalam suatu bangsa. Berlandaskan pada rasa tanggung jawab terhadap negara untuk kesejahteraan bangsa dan negara buat semua golongan yang ada didalam negara tersebut.
Lalu ada paham Marxisme yang berkembang dalam peradaban bangsa Indonesia ini, paham ini pada mulanya berkembang bukan pada anak pribumi, melainkan pada gerakan-gerakan kebangsaan di Eropa yang kemudian dibawa oleh para pejuang kemerdekaan Eropa ke Indonesia pada tahun 1912 yang menyerukan kesetaraan ras, keadilan sosial, dan ekonomi serta kemerdekaan yang didasarkan pada kerjasama dengan bangsa Eropa.
Saat paham ini masuk ke Indonesia, lalu kolonialisme Belanda akhirnya geram akan gerakan-gerakan yang ditimbulkan oleh gerakan Marxisme ini. Lalu bangsa Belanda akhirnya melakukan tindakan-tindakan keras terhadap aktifis organisasi tersebut.
Konsep yang selanjutnya adalah paham nasionalisme Soekarno yang dalam prakteknya banyak menggunakan paham komunis serta terlalu kearah fasisme (nasionalisme sempit), oleh karena itu paham nasionalisme yang di kembangkan oleh Soekarno banyak yang menentangnya. Walaupun ada satu sisi positif yang muncul dari paham ini yaitu Soekarno menginginkan akan adanya penyatuan yang semua komponen yang ada di negara Indonesia untuk bersatu melawan para penjajah yang ada. Walau demikian sepatutnya kita tetap menghargai akan pengobanan seorang Seokarno dalam rangka penyatuan anak-anak negeri ini.
2.2.3 Bentuk-Bentuk Nasionalisme
Ada beberapa bentuk nasionalisme yang ada, antara lain:
1.      Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudulk Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak Sosial").
2.      Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat").
3.      Nasionalisme Romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
4.      Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRT karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.
5.      Nasionalisme Kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Sepanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica.
6.      Nasionalisme Agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.
Akan tetapi dalam bangsa Indonesia, bangsa Indonesia lain dari yang lain yaitu nasionalisme Pancasila. Pengertian nasionalisme Pancasila ini antara lain:
Pada prinsipnya nasionalisme Pancasila adalah pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa:
  1. Menempatkan persatuan – kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan;
  2. Menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara;
  3. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri;
  4. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa;
  5. Menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia;
  6. Mengembangkan sikap tenggang rasa;
  7. Tidak semena-mena terhadap orang lain;
  8. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan;
  9. Senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan;
  10. Berani membela kebenaran dan keadilan;
  11. Merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia; dan
  12. Menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Apabila kita lihat dari semua pengertian diatas, maka paham nasionalisme Pancasila lah yang bisa dan sesuai dengan kultur bangsa Indonesia ini yang akan bisa membuat bangsa Indonesia ini maju serta sejahtera.

2.3 Nasionalisme Pancasila
Secara nyata dapat dilihat bila berbicara Pancasila sebagai dasar negera, maka yang terjadi seharusnya adalah bagaimana negara ini berusaha dengan berbagai upaya untuk menegakkan masyarakat yang berketuhanan, adil dan bermoral, mempunyai jiwa ukhuwah (persaudaraan) atau kebersamaan, demokrasi, dan menciptakan kemakmuran masyarakat sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa ini. Pertanyaanya sudahkah semua itu terlaksana, atau adakah usaha penegakan terhadap terlaksananya nilai-nilai Pancasila dengan sebenar-benarnya. Atau, bahkan sebaliknya banyak kalangan baik itu para pejabat atau masyarakat secara umum menjadi orang yang “munafik” dan berprilaku tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa ini, yaitu menjadi manusia yang mengingkari Pancasila.
Jadi, sudah menjadi suatu keharusan apabila bangunan nasionalisme yang ditegakkan, baik sekarang maupun ke depan sampai waktu yang tidak terbatas, adalah tetap berpegang pada nilai-nilai nasionalisme yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa ini. Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa jika menengok ke belakang, nasionalisme yang digunakan sebagai alat pemersatu oleh para pendiri bangsa ini adalah nasionalisme yang mentauladani sifat-sifat Tuhan, cinta akan kedilan, egaliter, dan menghargai hak asasi manusia. Inilah bentuk perwujudan dari nilai-nilai Pancasila. Sekarang, sebagai kritik apa yang telah dilakukan oleh masyarakat bangsa ini, perlu dilihat apakah pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah tercapai. Oleh karena itu, sekedar pengingat tampaknya perlu diulas kembali makna sila-sila yang ada dalam Pancasila.
Pertama, jika mengkaji makna dari sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila ini menunjukkan bahwa apa yang berlaku di negara ini, baik yang mengenai kenegaraan, kemasyarakatan maupun perorangan harus sesuai dengan sifat-sifat Tuhan yang tak terbatas, misalnya Maha Besar, Maha Agung, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Mengetahui, Maha Mendengan, dan sebagainya. Azhar Basyir menyebutkan bahwa sila ini merupakan dasar keruhanian, dasar moral bagi masyarakat Indonesia dalam melaksanakan hidup bernegara dan bermasyarakat. Misalnya, dalam kehidupan bernegara berarti dalam penyelenggaraannya wajib menghargai, memperhatikan, dan menghormati petunjuk-petunjuk Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak boleh menyimpangnya. Jadi jelas bahwa sila ini dapat menjadi dasar untuk memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Tuhan.
Kedua, sila “Kemanusia Yang Adil dan Beradab” dapat diartikan bahwa bagaimana dengan sila ini masyarakat bangsa Indonesia menjadi manusia yang berpegang pada nilai adil dan berakhlak mulia. Ciri manusia yang adil dan beradab dapat ditunjukkan dalam perbuatan yang tidak hanya mementingkan kehidupan jasmaniyah dan lahiriyah saja, melainkan juga kehidupan rokhani. Demikian pula, yang diutamakan bukan hanya yang menyangkut kepentingan diri pribadi, akan tetapi juga kepentingan masyarakat. Jelas bahwa sila ini menunjukkan bahwa para pendiri bangsa ini menginginkan di Indonesia ini tegak atau dijunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, seperti persamaan, keadilan, tenggang rasa, mencintai sesama, kesetiakawanan, dan kemanusiaan. Ketiga, dari sila “Persatuan Indonesia” tampak bahwa para pendiri bangsa ini sadar bahwa tanpa persatuan dan kesatuan langkah, maka tujuan bersama, yang pada waktu itu dijadikan alat untuk melepaskan dari dari cengkraman kolonialisme, tidak akan terwujud. Mereka juga sadar bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dan plural, yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai pulau, suku, bahasa, agama, dan kepercayaan. Sunatullah yang dalam hal ini berarti bahwa keberadaan manusia di muka bumi ini adalah plural, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa yang tidak dapat ditolak keberadaanya telah disadari oleh mereka. Dengan demikian, agar terwujud bangsa yang mandiri dan mempunyai harga diri maka harus tercipta ukhuwah dan persatuan tanpa memandang suku atau keyakinan apa yang dianutnya.  
Keempat, dapat dikemukakan bahwa kandungan sila “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” ini menunjuk pada keharusan adanya kerakyatan atau demokrasi yang tentunya memperhatikan dan menghormati nilai ketuhanan dan agama. Kerakyatan atau demokrasi semacam ini berarti dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara harus dilakukan dengan cara bermusyawarah yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Misalnya, dalam agama Islam sendiri menganjurkan agar selalu bermusyawarah untuk memecahkan apa pun permasalahannya.
Kelima, sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” pada umumnya dapat diartikan bahwa setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan kita bersama. jadi, membangun keadilan sosial berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan terlaksananya keadilan. Jelas, bahwa konsekuensi yang harus dijalankan adalah kepentingan individu dan kepentingan umum harus dalam suatu keseimbangan yang dinamis, yang harus sesuai dengan keadaan, waktu, dan perkembangan zaman. Dalam prakteknya, keadilan sosial tercapai apabila dapat memelihara kepentingan umum negara sebagai negara, kepentingan umum para warga negara bersama, kepentingan bersama dan kepentingan khusus dari para warga negara secara perseorangan, suku bangsa, dan setiap golongan warga negara.
Mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka akan tampak amatlah mulya apabila nilai-nilai tersebut dijadikan pegangan bagi manusia sebagai khalifah fi al-ard pada umumnya, dan khususnya bagi masyarakat Indonesia. Jika dikaji, Pancasila memang mengandung nilai-nilai universal, yaitu kebenaran umum. Hal ini menandakan bahwa pengkonsep Pancasila adalah para manusia yang cerdas, manusia mengerti ruang batin masyarakat Indonesia, manusia yang mau belajar dari sejarah, dan sekaligus menjadi aktor perubahan dalam sejarah. Oleh karena itu, alangkah tepatnya apabila nasionalisme yang semestinya dipegang oleh masyarakat Indonesia adalah cinta tanah air yang selalu berpegang pada nilai-nilai Pancasila.
Dalam hal ini, nilai-nilai Pancasila harus benar-benar dijadikan spirit moralisme untuk merekonstruksi desain negara bangsa yang penuh keadaban dan bermartabat. Tampaknya, skarang ini konsep nasionalisme harus segera direka ulang sesuai dengan karakteristik kebangsaan Indonesia mutakhir dengan tetap berpegang pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Desain isi nasionalisme Indonesia harus dimaknai bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang menolak segala bentuk diskriminasi, kedholiman, penjajahan, penindasan, ketidakadilan, serta pengingkaran atas nilai-nilai ketuhanan, sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila.
Sekarang, yang perlu dikaji ulang adalah bagaimana dengan nasionalisme bangsa ini, yang mencakup baik para pejabat yang diberi amanat untuk menjalankan roda pemerintahan, DPR, Jaksa Agung, hakim, polisi, para intelektual dan birokrat kampus, dan lainnya. Apakah perilaku mereka sudah mencerminkan berjiwa Pancasila. Sudahkah perilaku mereka semua telah sejalan dengan amanat yang tercantum dalam dasar negara, yaitu Pancasila. Tentu saja, jika semua komponen bangsa ini memegang nasionalisme Pancasila sebagai landasan untuk membangun bangsa ini, maka tidak seharusnya terjadi, apa yang disebut dengan kemiskinan, dikriminasi, korupsi, penjualan aset negara, ilegal loging, dan ketidakadilan.
Tampaknya komponen bangsa ini memang belum sepenuhnya menjalankan atau menganut paham nasionalisme yang berlandaskan Pancasila. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam bidang ekonomi para pemegang kebijakan belum menjalankan apa yang diamanatkan Pancasila, karena belum tercipta apa yang disebut dengan “ekonomi keadilan”. Semestinya, untuk menciptakan keadilan dan menghilangkan kemiskinan atau paling tidak menguranginya, maka pemegang kebijakan ekonomi bangsa ini harus menjalankan, sebagaimana disinggung Murbyanto, yaitu prinsip ekonomi koperasi dan ekonomi etik. Karena, diketahui bahwa ekonomi koperasi, berbeda dengan ekonomi ortodok, yaitu ekonomi yang mengajarkan cara-cara bekerja sama bukan cara-cara bersaing. Di sisi lain, jika ekonomi etik yang dipegang, maka keserakahan akan alam benda tidak akan terjadi. Dalam hal ini, jika ekonomi koperasi mengajarkan cara-cara manusia bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan dengan sebaik-baiknya, maka ekonomi etik mengajarkan perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan etikanya dengan berpedoman pada ajaran-ajaran moral agama. ]
Demikian pula, jika nasionalisme Pancasila yang dijadikan pegangan, maka ilegal loging, baik di Sumatra (Riau) maupun di Irian Jaya tidak akan terjadi. Karena, jelas bahwa hal semacam itu tidak hanya merusak hutan, akan tetapi para pelaku adalah tergolong orang-orang yang mementingkan diri sendiri dan merugikan seluruh masyarakat Indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh Sekjen Lembaga Pengkajian Hutan Indonesia (LPHI) Riau, Andreas Herry Kahuripan, kepada Metro Riau, Selasa, 24 Januari 2006, di Pekanbaru, bahwa ilegal loging di Riau sudah seperti pelacur. Kendati sudah mulai di berantas sejak tahun 1990 lalu, namun hingga kini belum menunjukkan hasil memuaskan. Tampaknya kesulitan dalam rangka penghentian tindakan penebangan kayu liar ini, karena pada dasarnya para pejabat negeri inilah yang melakukannya.
Banyak kasus lain yang dapat diungkapkan dan merupakan tindakan tidak Pancasilais. Misalnya, tindakan penjualan aset Indosat ke Singapura, atau menjual kekayaan negara ke negara-negara maju, seperti dalam kasus Blok Cepu dan masalah Freeport. Dalam kasus semacam ini, kekayaan negara dikeruk dan dikelola oleh mereka, sementara dalam kenyataannya bangsa ini hanya kebagian sedikit saja. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan, bangsa ini yang sebenarnya sebagai pemilik lautan "dolar", hanya bisa puas kebagian ampasnya. Orang lain bermewah-mewahan dari hasil penjualan aset kita, sementara rakyat kita hanya bisa melihatnya sambil gigit jari.
Demikian pula, korupsi yang merupakan simbol ketidakadilan seharusnya dapat dihentikan dan bahkan berhenti dengan sendirinya apabila manusia Indonesia ini sadar bahwa Pancasila dasar adalah moral yang harus dipegangi. Mengapa penyakit yang satu ini tampak sulit untuk disembuhkan, dan bahkan sekarang ini menu korupsi seakan menjadi sajian berita yang tiada henti. Orde Reformasi yang diharapkan dapat mengoreksi, justru semakin melembagakan praktik culas elite penguasa. Perilaku korupsi bahkan telah menjamah di semua level instansi pemerintahan bangsa ini.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
                   Berdasarkan pembahasan di atas maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Dari penjelasan diatas dapat terlihat bahwa nasionalisme adalah sebuah identitas yang sangat penting dalam sebuah negara, karena tanpa kekuatan nasionalisme negara tidak akan bisa lagi memainkan peranannya sebagai sebuah institusi tertinggi yang mewadahi rakyatnya.
Selain itu juga ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri.
Maka dari itu semua, sewajarnyalah kita sebagai anak negeri untuk dapat menumbuh kembangkan rasa nasionalisme yang ada dalam diri kita selanjutnya kepada semua orang dekat kita.
Semoga kita dapat mempertahankan akan kesatuan dan kebangsaan Indonesia yang sudah terjalin ini, dan dapat menjadi negara dan bangsa yang maju dan besar.
Dapat ditegaskan bahwa apabila belajar dari sejarah yang pernah terjadi, nasionalisme Indonesia adalah bentuk perwujudan dari sikap dan tindakan yang anti terhadap praktek-praktek kolonialisme. Dengan demikian, nasionalisme Indonesia merupakan suatu bangunan suatu negara yang dibentuk berdasarkan anti penjajahan, penindasan, diskriminasi, kedholiman, ketidakadilan, serta pengingkaran atas nilai-nilai ketuhanan. Tentru saja, apabila masyarakat Indonesia atau person berprilaku dan bertindak dengan sikap-sikap sebagaimana disebutkan tentu saja mereka bukanlah manusia 

3.2 Saran
Paper tentang Pancasila dan Nasionalisme sebagai dasar persatu dari Negara masih jarang orang memahaminya. Semoga dengan adanya paper ini dapat mendorong penulis lain yang berkaitan dengan Pancasila dan Nasionalisme sehingga lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Wahdi, Sayuti, dkk. 2004. Pendidikan Kewargaan. Jakarta: Prenada Media.





Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar